“Kamu perlu ke psikiater”
Rebecca merangkulnya dan pergi meninggalkan kamar kost itu. “sebenarnya I just
need holiday or on vacation” gumam Sarah pelan dan menatap Rebecca. “ya, dan
kita melupakan planning untuk pergi kepsikiater?” Rebecca tersenyum sesekali
menengok ke sarah yang sedang mengendarai mobil menuju tempat psikiater. “will
never do sarah.. hahaha” diikuti dengan tawanya. Sarah hanya tersenyum dan
memalingkan wajahnya kejendela untuk melihat silaunya sinar matahari dan
deretan gubuk-gubuk yang menghiasi sepanjang perjalanan mereka. Sudah lama tak
dia rasakan sinar menyengat kulitnya, dan melihat sekeliling jalanan yang sama
sekali belum berubah selama dia berdiam diri 3 bulan dikamar. “aku lapar” gumam
Sarah lagi. “tentu saja setelah ke psikiater you can eat sepuasnya, youre
sister yang baik hati ini akan mentraktirmu, sudah berapa lama kamu tidak makan
Pitzza?” ledek Rebecca. Sarah hanya tersenyum sebagai jawabannya.
“Baiklah, bisa kamu ceritakan
apa yang terjadi pada sekujur tubuhmu?” dokter memulai perbincangan. Sarah
menyambutnya dengan baik, dan mulai bercerita mengenai apa yang terjadi
terhadapnya. Aku hanya mencoba menutupi
perih didada saya, dengan cara mengalihkan sakit ini. Namun itu sama sekali
tidak mempan, meskipun aku telah mencobanya berulang kali. Bahkan jika aku
masih terbangun saat itu, aku ingin mengiris aliran darah ini hingga aku bisa
mengakhiri semuanya. Setelah sejam berdiskusi “yang Sarah derita adalah
Self Injury atau yang biasa dikenal dengan self harm (SH), atau self- inficted
violence (SIV). Banyak penyebab dari Self Injury ini, namun sarah termasuk kedalam
golongan self injury yang bertindak menyakiti diri sendiri untuk pengalihan
rasa sakit hati, dan terkucilnya dia. Ini bisa menyebabkan kecanduan sehingga
harus di jaga agar dia tidak melakukannya lagi.”
“hey, aku tidak bisa menjagamu
24jam bukan?” Rebecca memulai perbincangan setelah meninggalkan tempat
psikiater itu. Sarah hanya mengangguk seakan dia mengerti mengenai kesibukan
kakak perempuannya ini. “ya, so you have protective youre self okay” sambung
Rebecca lagi. “hemmm…! ya..! aku lapar!!” jawab Sarah. “baiklah, you have make
swear! Apakah perlu kamu pindah dari kost itu dan tinggal bersamaku?” Rebecca
masih melanjutkan perbincangan yang membosankan itu. “no, of course don’t need,
aku sudah tidak berpacaran dengan Tio, dan aku akan mencari pacar yang lebih
baik lagi untuk melupakan Tio. Aku sudah besar bukan? Maka aku akan tetap tinggal
di kost sendirian dan I’m swear akan menjaga diriku 24 jam. And then… I’m
hungry you know?!!” “Okay.. kita akan makan nasi padang diujung gang sana”
ledek Rebecca “what? Bukannya tadi kita mau makan pitzza?” kejut Sarah.
“hahahaha” kedua kakak beradik itu tertawa terbahak.
“yap kita sampai…” berhenti
tepat didepan rumah kost yang ditempati Sarah. Sarah turun dari mobil dengan santai, “ini obat penenang,
kamu tahu kapan harus meminumnya bukan?” Rebecca menyodorkan tangannya keluar
kaca mobil. “Ya, be save dijalan” sarah menjauh dari mobil dan melangkah menuju
kamarnya.
Melihat sekeliling tempat ini, seluruh memory tentang Tio mengelilingi
kepalaku… ditangga ini dulu dia merangkulku, dan disini pula dia menyakitiku, dug-dug
dug-dug jantung ini berdetak terlalu cepat. Sakiiit,, sakit ini masih melekat,
dan membekas, bahkan mungkin takkan hilang. Mengendap-ngendap dikamar sendiri,
karena suasana terasa begitu asing, gelap, dan tak bernyawa. Selimut yang masih
berlumuran darah ini yang dulu menghangatkanku dari dinginnya hari-hariku…
“haghhhh” memory tentang Tio menggerogoti isi jantungku, sakiiiiiit.
“oh God.. Saraaaah, seharusnya aku
tidak meninggalkan kamu sendiri tadi” Rebecca kembali karna memiliki perasaan
yang tidak enak mengenai Sarah adiknya. “Sarah, bangun..” “em.. kamu masih
disini?” sarah terbangun. “apa lagi yang kamu lakukan?” Rebecca mulai cemas
karena adiknya yang tergeletak dilantai. “aku hanya tidur, ya ampun.. kamu
terlalu menghawatirkanku” Sarah menggerutu. “baiklah, mari kita bereskan dan buang semua
ini, barang2 tio.” Sarah hanya mengangguk pelan. “atau aku ingin pulang saja
kerumah,” sarah merunduk. “aku masih tidak bisa melupakan seluruh moment di
kamar ini dengan Tio, aku rasa, ini masih menyakitkan ku, dan ingin membunuhku
secara perlahan.” bergegaslah mereka pulang kerumah peninggalan orang tua mereka
yang telah meninggal 4tahun yang lalu karena sakit.
“Rumahnya tidak berubah
sedikitpun” ucap sarah. “ya, aku tidak ingin merubahnya, aku merasa kalau ibu
dan ayah masih disini, well, ini kamarmu. Aku sekarang menempati kamar ibu dan
ayah di depan, hari ini kamu membuat aku bolos kerja dan besok kita akan
menjalani aktivitas kita masing-masing. Kamu akan kuliah, dan aku akan kerja
besok, teruskanlah merapihkan kamar, aku akan keluar mencari makan malam.”
Rebecca pergi meninggalkan Sarah. “akhirnya
Tio tidak membayang-bayangi aku lagi”. Sarah mengelilingi rumahnya sendiri,
“haaaagh apa yang diperbuat Rebecca?” Sarah memasuki kamar ibu dan ayahnya yang
ditempati Rebecca. Sarah sangat kaget dengan apa yang terjadi pada kamar itu. Darkness,
bad smell, dan banyak foto-foto yang tak terlihat karena bohlam kamar yang
mulai redup, bahkan banyak sekali darah berceceran disana. Sarah berlari
meninggalkan kamar karena mendengar Rebecca telah pulang.
“well, kamu tidak boleh masuk
kamarku, dan aku tidak akan masuk kekamarmu, dan kita akan menjaga privasi kita
masing-masing. Okay?” Rebecca seakan mengira bahwa adiknya baru akan memasuki
kamarnya. “ya, okay”.
Malam menyelimuti rumah ini, udara dingin malam mulai menusuk kulit,
mencekam. Aku tak bisa tidur membayangkan apa yang terjadi dikamar Ibu. Apa
yang diperbuat Rebecca? Mengapa jam 1 dinihari dia masih belum tidur dan terus
menangis? Ini sangat tidak nyaman, tidak senyaman dulu saat ibu dan ayah masih
ada…
Jam 3 dini hari dan aku masih mendengar Rebecca menangis, aku takut untuk menghampirinya, namun akan ku kuatkan batin ini menerima apa yang terjadi ketika aku masuk kekamarnya. Aku akan menerima apapun yang terjadi pada Rebecca dikamar itu, dan menguatkan langkah kaki ini melangkah menuju kegelapan dari dalam diri Rebecca. Knok knok knok, “Rebecca, buka pintunya.. kenapa kamu belum tidur?” suasana menjadi hening, dan tak lagi terdengar suara isak Rebecca.
Jam 3 dini hari dan aku masih mendengar Rebecca menangis, aku takut untuk menghampirinya, namun akan ku kuatkan batin ini menerima apa yang terjadi ketika aku masuk kekamarnya. Aku akan menerima apapun yang terjadi pada Rebecca dikamar itu, dan menguatkan langkah kaki ini melangkah menuju kegelapan dari dalam diri Rebecca. Knok knok knok, “Rebecca, buka pintunya.. kenapa kamu belum tidur?” suasana menjadi hening, dan tak lagi terdengar suara isak Rebecca.
Sarah beranjak meninggalkan
kamar Rebecca secara perlahan, “gubraaaaaaak”
sarah terkejut dan berlari kembali kekamar, tak lagi mengetuk, Sarah langsung menendang
pintu yang terkunci itu. Dia melihat Rebecca yang tergeletak lesuh dengan
sebuah lilin yang mengelilinginya. Sarah mengangkat Rebecca keluar dari kamar.
Badan Rebecca penuh dengan garukan-garukan kuku. “Rebecca banguuun, apa yang
kamu lakukan??” Sarah menggeletakkan Rebecca di kamarnya dan kembali kekamar
Rebecca yang dulunya adalah kamar ibunya. “Buku Komunikasi Dengan Aruah? Ini
gila!!” sarah mengambil foto-foto yang tergeletak berhamburan dilantai,
mematikan setiap lilin dan meninggalkan kamar yang kedap udara, bangkai kucing
dan darah dimana-mana.
“Nine one one? Please…” begitu
panic dan shoknya Sarah mengetahui keadaan kakaknya. “Rebecca, Rebecca.. kamu
gk boleh ninggalin aku..” sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Sarah
mencoba membangunkan Rebecca.
“Mohon maaf karena dia tidak
bisa diselamatkan. Pihak medis menyarankan otopsi untuk Rebecca agar dapat
mengetahui luka apa saja yang dia alami dalam tubuhnya.” Dokter menjelaskan
dengan seksama. Itu tidak perlu dok, saya ingin sekarang diantarkan kerumah
saya untuk segera dimakamkan.
“3 januari 2008 - aku ingin ikut dengan mu ayah… aku tidak bisa hidup
tanpa mu.” “6 May 2008 - Ibu, kenapa engaku ikut pergi meninggalkan aku? Lalu
siapa yang akan merangkulku ketika aku jatuh? Kepergian Ayah bukanlah sebuah
alasan untuk bunuh diri bukan?” isi diary Rebecca. “Aku tak sanggup
membacanya” sarah memberikan buku diary Rebecca dan foto2 ibu dan ayahnya yang tadi bergeletakkan dilantai kepada dokter psikiaternya kemarin.
“ibu kamu dulu pernah datang
kesini 4 tahun yang lalu dengan Rebecca, aku tidak tau kalau self injury itu
menurun kepada anak-anaknya. Saya harap kamu harus bisa tabah dan hindari
benda-benda tajam disekelilingmu untuk menghindari self injury. Self injury
bisa muncul karena rasa bersalah, mekanisme
coping yang digunakan seornag individu untuk mengatasi rasa sakit secara
emosional atau menghilangkan rasa kekosongan kronis dalam diri dengan
memberikan sensasi pada diri sendiri. yang kejam dan merusak namun banyak orang
melakukan karena memang mekanisme tersebut bekerja dan bahkan bisa menyebabkan
kecanduan. self injuri meliputi juga
denomena lainnya yang berkaitan dengan pengrusakan tubuh sendiri namun
pelakunya melakukan tindakan ini dengan harapan dapat mengatasi atau
membebaskan diri dari emosi yang tidak tertahankan atau rasa tidaknyaman.
Rebecca mengalami self injuri level bunuh diri karena diduga dia sudah
melakukan ini selama 4 tahun.” Tercenganglah sarah mendengar penjelasan
psikiater itu.
Dan
kemudian apa yang akan tejadi padaku? Just move on? thats not enough!! Kemudian
ada sebuah alasan mengapa I’m cring and cring for my live and for the way my
family take…Dan aku akan tetap hidup untuk sebuah alasan yang tak pasti lalu
melupakan apa yang terjadi pada keluargaku, karena arah angin yang akan menuntunku
untuk menuju pada sebuah alasan aku hidup, of course for more something better.