Get Money

 

21 Jul 2013

CERPEN : Cewek Metropolitan???

Matahari sudah tinggi, cahayanya memaksa masuk lewat cela-cela jendela yg ditutup horden berjaring-jaring, motif sarang laba-laba. Gadis ini enggan membuka matanya sejak sekitar dua jam yang lalu alaram berbunyi, tentu saja sudah dimatikan olehnya saat pertama dia berdering. Lampu2 malam Jakarta membuatnya pulang terlalu pagi, dia lupa hari ini adalah hari penting baginya. Hari pertama bekerja di sebuah perusahaan dealer mobil terbesar dijakarta. Masih training, dia belum resmi menjadi kariyawan. Handphone yg sedari tadi bergetar, di abaikannya. Apa yang membuat dia meloncat dari tempat tidurnya? Tiba-tiba gadis ini melototkan matanya dan meloncat dari kasur tempat tidurnya yang hanya digeletakkan begitu saja di lantai kamar kost. Menyambar deodorant, dan kemeja putih yg tergantung rapih di belakang pintu, sudah dipersiapkan sejak kemarin olehnya. Dia tidur bersama rok hitam pendek berbahan katun polister yang belum diganti sejak kemarin dia menjalani psikotes, interview, dan tanda tangan kontrak sebagai anggota training. Kemudian dia pergi makan malam, nonton, dan menghabiskan saat gelap itu di tempat yang mereka sebut diskotik. Bersama pria yang meloloskannya ke pekerjaan itu, nice guy? Entahlah…
60km/jam membuatnya sampai tepat pukul 10.35 sejak keberangkatannya sepuluh menit yang lalu. Tangannya tergesah-gesa membuka permen penyegar mulut dan melahapnya seperti orang rakus. Tentu saja dia tidak mandi dan menyikat gigi, permen itu pikirnya bisa membantunya keluar dari masalah bau mulut. Sambil berlari menuju lift dan memaksa mengangkat dagu melihat layar merah yang bertuliskan angka tepat diatas pintu lift, untuk mengetahui berapa lama lagi dia harus menunggu benda itu menjempunya. Sambil merapihkan rambut, kemudian merapihkan kemeja, dan menyeka-nyeka kelopak matanya dengan kedua tangannya, menyapu pipi. Berharap wajahnya tidak lebam terlihat baru saja bangun. Tak perlu makeup, gadis ini wajahnya masih seperti baby, bahkan urat2 halus berwarna merah dipipi tergambar jelas betapa bening kulitnya.
Lift sudah mengantarnya ke lantai 4, peserta training hanya 2 orang, dia dan pria yang mungkin umurnya dibawah 2 tahun dari padanya, atau memang iya. Wajahnya begitu kekanak-kanakan. “hey, dimana pak Brian?” gadis itu menghampiri pria itu yang duduk rapih didepan ruangan pak Brian. “katanya tadi dia mau ke toilet, sekitar 2 jam yang lalu,” sahut pria itu agak kesal “dia membuat ku menunggu disini sendiri. Perkenalkan, namaku Setio,” sambil mengulurkan tangannya. Gadis ini menatapnya tajam sejenak, seperti familiar wajahnya. Sambil mengatur nafas karena jantungnya yang masih berdetak ketakutan terlambat mengikuti training. “Via, hufttt..” menghela nafas “yang sabar yah,” handphonenya bergetar lagi untuk yang kesekian kali sedari pagi. “sebentar,” ucap gadis itu lagi ingin menjawab telpon. “iya pak, saya sudah diatas.” Kini Setio tau kepada siapa dia harus melampiaskan kesalnya karena telah menunggu lama. Sayang sekali pria ini begitu sangat sabar dan melupakan kekesalannya. Tidak lama setelah itu, pria yang telah berkepala 3 menghampiri, “maaf sudah membuat kalian menunggu lama,” sambil tersenyum. Via membalas senyuman tersebut seakan menyimpan sesuatu yang lucu, tapi tidak dengan Setio yang kekeh dengan wajah badmoodnya.
Waktu kerja terasa cepat, bagaimana tidak? Mereka memulai pekerjaannya setelah jam makan siang. Pak Brian yang tidak berhenti berbicara sedari tadi menjelaskan apa yang harus mereka kerjakan, memberi tahu file-file yang mereka butuhkan, wajahnya kini terpapar rasa senang dengan sedikit senyuman, memiliki sebuah arti yang disembunyikan disetiap tatapannya pada via. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan malam kemarin yang dia habiskan bersama Via, mengunjungi tempat2 wisata dan kuliner malam. Pak Brian meninggalkan mereka, pergi menuju ruangannya untuk bersiap pulang.
“hey, berhentilah cemberut… bukannya kita harus bekerjasama disini? Kalo kamu musuhin aku, siapa yang akan bekerjasama denganku?” senyuman Via menggambarkan permohonan maafnya. “ya, aku memakluminya gadis desa Rashiva Kristi” tidak menanggapi aneh kalau pria ini tau nama dan asalnya, Dia menganggap kalimat itu sebagai kalimat ejekan. Heandphonenya berdering lagi, “aku duluan ya..” berlari meninggalkan meja kerja dan setio. Menghampiri dia yang menunggu gadis jangkung ini untuk membawanya pergi, masih pria yang sama dengan yang kemarin.
**
“Tumben kamu tidak terlambat?!” sapaan pertama dipagi hari, ruang kantor lantai 12a tempat mereka bekerja mulai dipenuhi karyawan, officeboy yang mendorong-dorong meja seperti waiters hotel membawakan kopi dan tea pesanan masing-masing meja karyawan belum juga kelar dibagikan, begitu pula dokumen-dokumen yang masih rapih diatas meja para karyawan. Via menghiraukan “semalam jalan2 kemana? Gk jalan-jalan ya? Langsung tidur?” gadis ini seperti kebal, focus menatap LCD yang baru dinyalakan. WINDOWS – hanya itu yang tergambar bersama buffer computer yang bergulir sangat lambat. “hey… gadis desa” colek Setio di punggung gadis ini yang duduk membelakanginya. “selamat pagi semua…” serentak berdiri para kariawan yang masih bermalas-malasan menghilangkan suntuk dan cerita dalam mimpi2 yang mulai pudar. Sapa manajer yang berperan sebagai pak Brian, pria yang sudah 2 hari ini hangout dengan Via, menghabiskan malam diluar jalan-jalan jakarta dan sebuah alasan lembur yang begitu simple diberikan untuk keluarganya yang berharap dia tidak lagi pulang terlalu malam. “selamat pagi paaaaak…” suara Via paling keras diantara gelombang2 suara yang lain, mengalihkan seluruh kariawan menatapnya. Setio tertunduk malu karena gadis itu berdiri didekatnya, dia merasa ditonton seperti pelaku pencuri. Via tersenyum geli merasa telah membalas pertanyaan2 menyebalkan yang dilontarkan pria itu. “urus saja pekerjaan mu” bisik Via masih dengan senyum kemenangan.
Waktu terasa sangat panjang, udara AC tidak lagi terasa dingin bagi pria ini. Wajahnya kusam penuh minyak disekujur pipi, dagu, hidung dan jidatnya. “Hari kedua ini begitu menyebalkan” gumamnya menoleh meja disampingnya yang tak berpenghuni. Detik dan detak dapat dihitungnya karena berjalan perlahan melenggak-lenggok di kepalanya yang penat. Hingga pukul 16.25 dijalani dengan penuh kesabaran, membongkar2 dokumen yang sebenarnya telah di koreksinya berulang kali. Beberapa kariawan mengganti kesibukukannya merapihkan meja dan isi tas yang berhamburan di meja. Namun pria yang bernama lengkap Setio Arkayudho ini masih tak ingin bergegas. Dia menunggu, menunggu gadis yang disebutnya gadis desa. “dorrr… serius banget” Penantiannya berakhir setelah dikageti Via “kemana ajah? Kerjaan numpuk tuh…” dengan nada ketusnya. “itu hanya copyan? Aku sudah mengerjakannya diruangannya pak brian” jawabnya sambil merapihkan meja. “kerja apa kerjaaa?! Hati2 sama bos-bos Jakarta” pria ini berbicara menatap camas Via yang sibuk tak memperdulikannya. Gadis ini menoleh mengangkat kening dan mengangkat kepala seperti setengah mengangguk seakan memperdulikan kecemasan dan perhatian setio, padahal tidak. Kemudian kembali merapihkan make up dan rambut tebalnya yang terikat, menguraikannya “I’m ready to the party,,, I wanna be metropolitan girl” ledek gadis itu berteriak dengan excitingnya “upsss” dan berlalu meninggalkan setio.
Dua minggu berlalu dengan cepat bagi sii gadis desa. Wajah yang lusuh, bundaran hitam dibawah mata tertutup oleh tebalnya foundation dan taburan bedak. Masih saja pria ini memanggilnya “gadis desa”, membuat gadis itu kesal. Namun Via adalah orang yang dapat mengontol emosinya, diam adalah senjata ampuhnya. Dia beranggapan dengan tidak memperdulikan akan membuat orang-orang yang mengejeknya kesal sendiri. Hanya hela-an nafas panjang yang meringankan ulunya yang sesak karena merasa di rendahkan. Itu bertahan sampai beberapa minggu yang telah berlalu selama mereka bekerja. “Satrio hanya mencari perhatian” batinnya.
Tak – tuk – tak – tuk – suara heels yang asing melangkah menuju meja kerja Via. “kamu Via?” wanita ini membuat ruangan hening. Pakaiannya yang minim menutupi usianya yang mungkin telah beranak 4. Caranya berdiri, membentak, menatap begitu anggun. Sebagian kariawan mengenalnya, mereka yang berbisik-bisik adalah kariawan lama yang sudah mengenal wanita ini. Namun Via, dia sama sekali belum pernah melihat wanita berusia mungkin 40 seperti dia yang berpakaian dan berpenampilan seanggun itu kecuali di TV, sinetron Indonesia atau telenovela yang terdapat di satu chanel tv kabel ketika dikampung. “iya bu,” jawab Via tegas kemudaian berdiri dari tempat dia bersandar, kursi beroda dengan anggunnya perlahan menutupi gugupnya. Via menatap Setio yang malah ikutan berdiri dan terlihat sangat shok. Setio sudah menduga sebelumnya bahwa ini adalah istri pak brian, dia bahkan sangat yakin. Kejadian ini telah diprediksinya sejak dua hari mereka bekerja. Pak brian hampir tiap hari tak langsung pulang kerumah, alasan apa yang membuat istri tak curiga jika hampir dua minggu pulang terlalu malam? Setio seakan kesal, marah, karena harus ada kejadian seperti ini menimpa gadis desa itu. Mungkin karena gadis desa itu tidak pernah mendengar nasehatnya. Seharusnya dia mempertegas siapa yang harus di waspadai, bukan bos prianya melainkan istri-istrinya yang bengis itu.
Wanita itu mengeluarkan amplop tebal, sangat tebal mungkin berisi sejumlah uang yang besar, mampu membayar setahun rumah kontrakan 2 kamar pikir Via. “ambil ini! Berikan kepada temanmu tamara, bilang kepadanya berhenti mendekati Brian, atau kamu saya bikin keluar dari sini” tegasnya. Kemudian berlalu masih dengan nada heels yang melayang-layang mengikuti jarak kakinya melangkah.
“siapa Tamara?” pertanyaan pertama yang dilontarkan Setio, disisi lain dia legah, bukan gadis desa ini yang terlibat langsung dengan wanita itu ataupun pa Brian. Via dengan santai mengambil bungkusan amplop yang dia lempar dimeja begitu saja, seakan tangannya tak mau kotor tersentuh oleh tangan gadis ini. “temen dari tempat yang lo sebut desa,” tersenyum menatap isi amplop kemudia merubah raut wajahnya menjadi super jutek menatap sekeliling kariawan yang masih berbisik-bisik membicarakannya. Mereka seakan segan pada gadis desa yang bahkan belum resmi menjadi karyawan ini, membungkuk dan kembali pada pekerjaan mereka, melupakan yang baru saja terjadi dan yang lainnya tidak menghiraukan kejadian tadi. Mungkin akan menjadikan bahan gosip saat di luar kantor.
“Tamara sahabatmu?” Tanya pria itu lagi penasaran. Via terkejut mendengar pertanyaan itu, bagaimana tidak? Dia tau siapa Tamara itu, “sejak awal, kamu sudah menarik perhatian ku,” ucap gadis itu lantang, wajah yang familiar “ternyata feeling ku benar” mencubit pipi pria itu dengan tenaga kegemasannya sama seperti dulu mereka pacaran. “enam tahun gk ketemu, ternyata kamu lebih nakal yah? Berani bermain api dengan keluarga orang kaya itu” omel brondong 2 tahun itu, mantannya. “ya… kalau tidak begitu bagaimana aku bisa hidup dijakarta?” sahut Via lantang. “itu yang kamu sebut gadis metropolitan?”
READ MORE - CERPEN : Cewek Metropolitan???

13 Jul 2013

CERPEN : Gak Selamanya Dia Musuh

                “Siapa? Ross? Dari sisi mana kamu melihat dia cantik? I called her ‘Bunga Bangke’”
                “What? Orang itu? Entah mimpi apa ibunya melahirkan anak dengan hidung diseluruh wajahnya”.
                Tak ada yang heran lagi jika kedua siswa ini saling ejek-ejekan. “entah nasib sial apa aku dijadikan sekelas terus dengan sipinokio berburuk rupa itu” lebih dari 3x sehari Ross berkata seperti itu, seperti kalimat pokok nan wajib jika mendumel. Mereka berdua memang sedari SMP selalu sekelas, saat SMP mereka bahkan hampir akrab. Hingga suatu ketika Paul berpacaran dengan sahabat Ross ketika menduduki kelas 2 SMP, kemudian membuat sahabatnya menangis selama 3 hari ketika mereka putus. Semenjak itu, bukan hanya perang dingin, Ross dan Paul pernah saling lempar-lemparan kerikil ketika kelas 1 SMA. Perang bacot bahkan akan sangat memanas ketika mereka berada dikelompok yang berbeda untuk memberdebatkan materi presentasi disepanjang mereka menduduki SMA. Mungkin Via sahabat Ross telah melupakan cinta monyetnya dengan Paul dan memutuskan mengambil SMA diluar kota. Namun Ross masih menyalahkan Paul akan hal itu. Setelah lebih dari tiga tahun mereka perang panas, mereka menjadikan hal apapun sebagai sebuah masalah. Jika ditanyakan kepada Ross awal mula terjadinya kebencian dihatinya, dia akan berkata “aku lupa” sambil mengangkat bahu dan berpikir keras. Itu terlihat dikerutan dahinya yang begitu mengkerut. Sedangkan Paul “mmm… aku dan bunga bangke itu memang tidak cocok.” “sejak kapan?” “Sejak lahir!!” dengan nada yang tinggi.
                “Ok kelas tambahan sepulang sekolah, yang artinya aku harus lebih lama bersama pinokio berburuk rupa itu!” “it’s never ever ever happened!!” teriak Paul menyambung dumelan Ross. Namun kemudian mereka menjalani setahun ajaran terakhir dengan success tanpa ada adu bacot.
                “nah begitu… jadilah siswa teladan disekolah ini, kalian berdua harus akur, kan kalian juara umum disekolah, jangan diancam dulu baru mau akur” ujar Kepala Sekolah yang menceramahi mereka didepan seluruh siswa saat pidato perpisahan kelas 3 dipanggung pensi. Meskipun begitu, mereka masih saja saling menatap sinis, tak ada perang panas, perang dingin pun terjadi.
**
                Dua bulan terakhir setelah UN, tentu saja mereka disibukkan oleh urusan surat ini dan itu untuk melengkapi pendaftaran Universitas. Sekolah SMA yang mereka rindukan, bangku-bangku kayu usang penuh coretan Tip-X, dan hiasan spidol menghiasi dinding belakang sekolan, dinding-dinding kantin dan toilet. Ross berjalan perlahan melewati kelas terakhir yang dia tempati seusai mengurus cap-cap untuk surat KHUN. Ram-ram berdebu menembus bayang-bayang didalam kelas, seorang pria sambil menggoyangkan kedua kakinya, “Hey ngapain kamu disini” meloncat turun dari atas meja “ngurusin surat-suratlah, sama kayak kamu” jawab Ross masih ketus. “kamu ngerasain apa yang aku rasain gk sih?” Paul datang menghampiri Ross. “apaa?” ‘entah apa yang teradi pada jantungku, tiba-tiba berdetak begitu kencang’ gumam Ross dalam batin. “akuuu.. kurasa aku merindukan kelas ini” ucap Paul sambil berlalu meninggalkan Ross. ‘ya Tuhan.. aku gugup’ batin si pinokio berburuk rupa, dengan wajah penuh penyesalan yang enggan memalingkan wajahnya kebelakang.
                “aku bahkan merindukan kita” tertunduk gadis itu membenci kedua pikiran sama yang menurutnya berbeda.
“hufttt.. merindukan kelas katanya? Bodoh!!!” Ross berlalu kearah yang berbeda.
“Tuhan, bukan itu yang ingin aku katakana! Aku merindukan Ross!” Paul masih menggerutu.
**
“ya Ampun tidak adakah yang mau membantuku membawa koper-koper ini keatas??” Ross menatap rumah koss yang bertumpuk tinggi menjulang kelangit, “lebih mirip rumah susun,” dumelnya lagi. Seseorang menyambar salah satu koper dari genggamannya, dengan reflex Ross yang cepat menatap sosok itu. “sini aku bantu” Paul berlalu dengan koper Ross dan segandeng tas miliknya yang isinya mungkin hanya beberapa helai pakaian dan minyak wangi yang tak dipungkiri adalah axe biru aroma yang selalu menempel ditubuhnya sejak SMP.
“Kamu ngekos disini?” pertanyaan yang ingin sekali dilontarkan Ross, sayangnya kalimat itu masih tersedak ditenggorokannya. “kamar berapa?” Tanya Paul yang berjalan 10 meter didepan Ross, sangat mirip pelayan hotel berseragam yang sedang membawakan tas. Paul hanya tak ingin Ross tau betapa gugupnya dia bisa membantu gadis ini. “506”.
“Ya, kita sampai”. “udah sampe disini aja, makasih ya?!” Ross melontarkan senyumnya yang very famous sweet di SMA dulu. “kamarku disitu, 504.” Sambil menggaruk kepala, suara grasak-grusuk pintu kamar 505 seperti akan membuka pintu mengalihkan pandangan Ross dan Paul, wajah yang tak asing. “Ross??” “Via?? aaaaarrrggghhhh” mereka saling berpelukan. Tidak melupakan Paul, via mengerutkan alisnya menduga-duga pria yang ada dihadapannya. “Paul?? Kalian berdua…?” dengan tatapan curiga via. “enggaaaak” Ross tiba-tiba berteriak menghentikan pikiran via mengenai kedekatan mereka. Mimic wajah Paul berubah “Ya Tuhan, seharusnya aku tidak berkata begitu, tapi yasudahlah toh dia juga tidak terlihat menyukaiku” isi hati Ross penuh dengan penyesalan, dan pula banyak pertanyaan “lalu mengapa dia tampak sedih setelah aku…”
“Hey Ross ayo beres-beres kamar kamu, aku bantuin bengong aja sih hahaha” via membangunkan Ross yang hanya terpaku didepan kamar memikirkan pinokionya.
**
“kini aku ingat penyebab dari perang aku dan Ross selama ini.”
“knok – knok – knok…” Paul yang sedari tadi tak beraktivitas hanya berbaring memikirkan bunganya kini beranjak bangun membuka pintu.
“hai Paul, lagi apa?” via mencoba melirik kedalam kamar pada cela-cela kosong yang tertutup badan Paul. “gk lagi ngapa-ngapin.” “aku boleh masuk gk kekamar?” “gk boleh..” “ih boleh dong…” beberapa menit mereka berdebat didepan, yang terdengar hingga kamar Ross dan membuat bunga bangkai ingin mengintip keluar. Sepertinya suara pintu tak bersahabat dengannya, membuat Paul dan via berhenti berdebat dan malah memperhatikan Ross yang mengintip disela pintu. Via menghampiri Ross dengan wajah cemberutnya “Ross, Paul gak ngijinin aku masuk kekamarnya… huhuhuhu…” rengek gadis pirang itu. “Viaaa…! Lagi ngapain coba masuk kekamar cowok? Centil banget sih?!!!” bentak Ross kesal. Ross meninggalkan via dengan membanting pintu kamar, itu malah membuat Paul cekikikan.
“Paul ini semua salahmu!!!” via masuk kekamarnya membawa serta kekesalanya.
“knok – knok – knok…”
“siapa?” teriak gadis bunga bangkai dari dalam kamar.
“Paul.” Ross langsung menyambar gagang pintu dengan semangatnya!
“hai…” Paul menyapa dengan mengangkat tangan kekanannya. Ross malah diam dan menatap mata sipinokio berburuk rupa itu.
“lagi ngapain?” Ross menggelengkan kepalanya, mengartikan dia hanya sedang memikirkan Paul ‘namun aku rasa Paul tidak mengerti’ malah mengartikan gelengan kepala itu sebagai tanda tidak ada aktivitas penting kecuali bernafas. Ross menatap Paul dari ujung rambut hingga ujung sepatu yang sangat terlihat betapa salting(salah tingkah)nya sipinokio ini. Ross pun tak kalah gugupnya dengan Paul.
“kalo kamu?” akhirnya Ross membuka suara. Paul membalas gelengan kepala Ross yang tadi.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?”
“I don’t think so… apa?” kali ini Ross tidak ingin kecewa dengan harapan ‘sama’ dalam pikirannya. Dan Paul tidak ingin membuat Ross kecewa.
“aku rasa aku merindukan kita” diikuti dengan sebuah garukan kepala! Ross membius Paul dengan jawaban sebuah senyuman yang terkenal manis itu.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?” Ross membalikkan pertanyaan sii pinokio itu.

“we one step closer?!!” jawab Paul sambil tersenyum ;)
READ MORE - CERPEN : Gak Selamanya Dia Musuh

CERPEN : Jeremi Yang Lain

Aku bukan gadis yang luwes, have a good many friends. So many people knows me, but thers not talk to me. Mungkin karena aku kurang memiliki waktu nongkrong dengan mereka. Aku lebih senang membaca novel atau pulang dan tidur saja dirumah jika waktu sekolah usai, atau untuk mengisi waktu luang. Membahas masalah pribadi atau menceritakannya kepada oranglain, menggosipi atau mengudge orang bukanlah tipeku. Betapa pintarnya aku menjaga ucapanku, bahkan untuk menjaga perasaanku kepada Mr.J pun akulah ahlinya. Nice guy, cute faces adalah criteria Mr.J.
Untuk yang pertama kalinya Mr.J ini membuatku simpati, ketika kami berada dibangku kelas 2 SMA. Dia mempresentasikan tentang pencernaan sapi didepan kelas dengan bahasa baku yang indah. Dia tidak sedang berpuisi atau membaca syair, namun nada suaranya sungguh melodis dan membuatku tercengang, aku terpesona padanya.
Setahun berlalu, ini adalah anniversary setahun aku menyukainya. Aku melingkari kalender yang tertata diatas meja belajarku dengan stabilo bertinta pink, warna kesukaanku. Yang harus kalian tau, aku bukan hanya pintar menjaga rahasia, dan perasaanku, tapi aku pintar menjaga pandanganku. Tentunya agar Mr. J tidak tau betapa nyata cinta yang terpampang dari mataku ketika menatapnya.
Dikelas 3 SMA ini kami focus untuk menghadapi ujian Negara. Keuntunganku, kami mendapat kelas tambahan 3 jam sepulang sekolah. Itu artinya I have plus time with him. Namun tetap saja, aku tak berani memulai untuk mendekatinya.
“Janet, nnty malam ada party birthday dirumah Jeremi, kamu dateng gk?” ana gadis sebangku denganku, gadis yang powerfull dan penuh energik. Seluruh teman sekelas bahkan guru mengatakan aku dan ana sangat cocok untuk saling mengisi. Dia adalah satu2nya gadis yang sering curhat seluruh masalah pribadinya padaku. Bahkan cerita first date-nya dengan Jeremi, Mr. J ku. “Jeremi terlalu kekanak-kanakan net, waktu kita hangout ke mall kemarin, dia ninggalin aku ditempat makan dan malah asik main di funworld”. Tiga jam sudah aku mendengarnya bercerita tanpa berkedip, aku tak ingin melewatkan satu katapun cerita tentang Jeremi.
**
“Janet, kamu mau gk jadi pacarku?” entah sudah berapa pria yang melontarkan kalimat itu. Entah berapa puluh novel yang diberikan mereka pada saat valentine musim kemarin. Bahkan “Stupid and Contagious” karya Caprice Crane tertumpuk tiga sekaligus yang diberikan tiga pria yang berbeda. Aku telah memikirkan untuk menjualnya kemana atau menyumbangkannya saja. Sayang sekali tak satupun bingkisan atau kartu yg tercantum nama Jeremi, “dan sayangnya lagi tak satupun pria yang mampu mengalihkan bayangan Jeremi dimata hati ini,” dengan telunjuk menunjuk dada.
**
“Janet, kamu datang juga?”, “Baru kali ini liat Janet pake gaun mini gitu” seru para undangan yang mayoritas teman sekelas. Aku bahkan menghabiskan waktu tiga jam dandan hanya untuk tampil istimewa di pesta Jeremi.
“siapa gadis itu? Gadis yang dirangkul Jeremi?” pandanganku berhasil dialihkankan dari hidangan pesta. Aku menjalani dua jam party dengan penuh senyuman, senyuman kehancuran adalah kalimat yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku. “namun yang kalian ketahui, keahlianku adalah memendam perasaan.” Sepanjang pesta berlangsung, Jeremi dan gadis itu bagaikan perangko dan amplop, “menempel!!!” aku pulang dengan perasaan cemburu, kini aku belajar bagaimana rasa itu dan belajar menyimpannya.
Meskipun terlihat Mr.J telah berpacaran, tetap saja hatiku bertahan ingin memilikinya, hingga masa SMA berakhir, dan aku masih melingkari tanggal yang sama pada kalender yang berbeda. Anniversary 2th aku menyukai Mr.J, dan dia tak pernah tau perasaanku. Seluruh mantan siswa terlihat sibuk mengurus surat ini itu untuk mendaftar di Universitas.
“Janet, kamu tau gk kalo Jeremi akan menikah bulan depan? Aku sudah mendapatkan undangannya” aku terpaku bisu menatap Ana yang mengobok-obok isi perut tasnya yang mungkin isinya satu set makeup dengan merk yang berbeda-beda. Sebuah undangan hijau digenggamnya keluar dari tas seharga 45rb, sebuah tas lukis berbahan semi jinz yang sedang trand di sekolahan. Dengan tergesa-gesa, aku merampasnya “hey slow down Janet,” aku mengalihkan pandanganku pada undangan itu dan membukanya “katanya sih hamil”. “Benar” hanya itu yang keluar dari mulutku setelah melihat isi kertas hijau. Air mata yang tak terbendung sudah pasti, dan jangan lupa dengan ulu-ku yang tercabik-cabik. “Janet kamu kenpp…” belum selesai Ana berbicara “Aku gk percaya naaa… Jeremi pria yang aku suka sejak kelas 2 SMA dia pria yang mampu membuat jantungku berhenti berdetak ketika aku cemburu, dan berdebar kencang ketika dia menatapku, kamu tau alasanku menolak pria2 itu? DIA!!” Ana tercengang menatapku, entah apa yang dia pikirkan hingga membuatnya membisu. Aku terisak menangis selama 2 jam untuk merelakan waktu 2 tahunku menyukainya, dan selama itu ana diam menatapku.

Dia terlihat ingin bicara, namun dia kembali menutup mulutnya melihat aku masih terisak “hey,hey yang terpenting sekarang, kamu sudah bisa terbuka, masalah Jeremi, jangan lagi kamu pikirkan, nanti kita cari Jeremi yang lain di Universitas.” “Jeremi yang lain?” kalimat itu membuatku tersenyum, dan membuat ana terbahak. Mungkin dia tidak menyangka hanya dengan kalimat itu bisa membuatku tersenyum.
READ MORE - CERPEN : Jeremi Yang Lain