Matahari sudah tinggi, cahayanya memaksa
masuk lewat cela-cela jendela yg ditutup horden berjaring-jaring, motif sarang
laba-laba. Gadis ini enggan membuka matanya sejak sekitar dua jam yang lalu
alaram berbunyi, tentu saja sudah dimatikan olehnya saat pertama dia berdering.
Lampu2 malam Jakarta membuatnya pulang terlalu pagi, dia lupa hari ini adalah
hari penting baginya. Hari pertama bekerja di sebuah perusahaan dealer mobil
terbesar dijakarta. Masih training, dia belum resmi menjadi kariyawan. Handphone
yg sedari tadi bergetar, di abaikannya. Apa yang membuat dia meloncat dari
tempat tidurnya? Tiba-tiba gadis ini melototkan matanya dan meloncat dari kasur
tempat tidurnya yang hanya digeletakkan begitu saja di lantai kamar kost.
Menyambar deodorant, dan kemeja putih yg tergantung rapih di belakang pintu,
sudah dipersiapkan sejak kemarin olehnya. Dia tidur bersama rok hitam pendek
berbahan katun polister yang belum diganti sejak kemarin dia menjalani
psikotes, interview, dan tanda tangan kontrak sebagai anggota training.
Kemudian dia pergi makan malam, nonton, dan menghabiskan saat gelap itu di
tempat yang mereka sebut diskotik. Bersama pria yang meloloskannya ke pekerjaan
itu, nice guy? Entahlah…
60km/jam membuatnya sampai tepat pukul 10.35
sejak keberangkatannya sepuluh menit yang lalu. Tangannya tergesah-gesa membuka
permen penyegar mulut dan melahapnya seperti orang rakus. Tentu saja dia tidak
mandi dan menyikat gigi, permen itu pikirnya bisa membantunya keluar dari
masalah bau mulut. Sambil berlari menuju lift dan memaksa mengangkat dagu
melihat layar merah yang bertuliskan angka tepat diatas pintu lift, untuk
mengetahui berapa lama lagi dia harus menunggu benda itu menjempunya. Sambil
merapihkan rambut, kemudian merapihkan kemeja, dan menyeka-nyeka kelopak
matanya dengan kedua tangannya, menyapu pipi. Berharap wajahnya tidak lebam
terlihat baru saja bangun. Tak perlu makeup, gadis ini wajahnya masih seperti
baby, bahkan urat2 halus berwarna merah dipipi tergambar jelas betapa bening kulitnya.
Lift sudah mengantarnya ke lantai 4, peserta
training hanya 2 orang, dia dan pria yang mungkin umurnya dibawah 2 tahun dari
padanya, atau memang iya. Wajahnya begitu kekanak-kanakan. “hey, dimana pak
Brian?” gadis itu menghampiri pria itu yang duduk rapih didepan ruangan pak
Brian. “katanya tadi dia mau ke toilet, sekitar 2 jam yang lalu,” sahut pria
itu agak kesal “dia membuat ku menunggu disini sendiri. Perkenalkan, namaku Setio,” sambil mengulurkan tangannya. Gadis ini menatapnya tajam sejenak,
seperti familiar wajahnya. Sambil mengatur nafas karena jantungnya yang masih
berdetak ketakutan terlambat mengikuti training. “Via, hufttt..” menghela nafas
“yang sabar yah,” handphonenya bergetar lagi untuk yang kesekian kali sedari pagi. “sebentar,” ucap gadis itu lagi
ingin menjawab telpon. “iya pak, saya sudah diatas.” Kini Setio tau kepada
siapa dia harus melampiaskan kesalnya karena telah menunggu lama. Sayang sekali
pria ini begitu sangat sabar dan melupakan kekesalannya. Tidak lama setelah
itu, pria yang telah berkepala 3 menghampiri, “maaf sudah membuat kalian
menunggu lama,” sambil tersenyum. Via membalas senyuman tersebut seakan
menyimpan sesuatu yang lucu, tapi tidak dengan Setio yang kekeh dengan wajah
badmoodnya.
Waktu kerja terasa cepat, bagaimana tidak? Mereka
memulai pekerjaannya setelah jam makan siang. Pak Brian yang tidak berhenti
berbicara sedari tadi menjelaskan apa yang harus mereka kerjakan, memberi tahu
file-file yang mereka butuhkan, wajahnya kini terpapar rasa senang dengan
sedikit senyuman, memiliki sebuah arti yang disembunyikan disetiap tatapannya pada via. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan
malam kemarin yang dia habiskan bersama Via, mengunjungi tempat2 wisata dan
kuliner malam. Pak Brian meninggalkan mereka, pergi menuju ruangannya untuk bersiap pulang.
“hey, berhentilah cemberut… bukannya kita
harus bekerjasama disini? Kalo kamu musuhin aku, siapa yang akan bekerjasama
denganku?” senyuman Via menggambarkan permohonan maafnya. “ya, aku memakluminya
gadis desa Rashiva Kristi” tidak menanggapi aneh kalau pria ini tau nama dan asalnya, Dia menganggap kalimat itu sebagai kalimat ejekan. Heandphonenya
berdering lagi, “aku duluan ya..” berlari meninggalkan meja kerja dan setio. Menghampiri
dia yang menunggu gadis jangkung ini untuk membawanya pergi, masih pria yang
sama dengan yang kemarin.
**
“Tumben kamu tidak terlambat?!” sapaan
pertama dipagi hari, ruang kantor lantai 12a tempat mereka bekerja mulai
dipenuhi karyawan, officeboy yang mendorong-dorong meja seperti waiters hotel
membawakan kopi dan tea pesanan masing-masing meja karyawan belum juga kelar dibagikan,
begitu pula dokumen-dokumen yang masih rapih diatas meja para karyawan. Via menghiraukan
“semalam jalan2 kemana? Gk jalan-jalan ya? Langsung tidur?” gadis ini seperti kebal, focus
menatap LCD yang baru dinyalakan. WINDOWS – hanya itu yang tergambar bersama buffer
computer yang bergulir sangat lambat. “hey… gadis desa” colek Setio di punggung
gadis ini yang duduk membelakanginya. “selamat pagi semua…” serentak berdiri
para kariawan yang masih bermalas-malasan menghilangkan suntuk dan cerita dalam mimpi2 yang
mulai pudar. Sapa manajer yang berperan sebagai pak Brian, pria yang sudah 2
hari ini hangout dengan Via, menghabiskan malam diluar jalan-jalan jakarta dan
sebuah alasan lembur yang begitu simple diberikan untuk keluarganya yang
berharap dia tidak lagi pulang terlalu malam. “selamat pagi paaaaak…” suara Via
paling keras diantara gelombang2 suara yang lain, mengalihkan seluruh kariawan
menatapnya. Setio tertunduk malu karena gadis itu berdiri didekatnya, dia merasa
ditonton seperti pelaku pencuri. Via tersenyum geli merasa telah membalas pertanyaan2
menyebalkan yang dilontarkan pria itu. “urus saja pekerjaan mu” bisik Via masih
dengan senyum kemenangan.
Waktu terasa sangat panjang, udara AC tidak
lagi terasa dingin bagi pria ini. Wajahnya kusam penuh minyak disekujur pipi,
dagu, hidung dan jidatnya. “Hari kedua ini begitu menyebalkan” gumamnya menoleh
meja disampingnya yang tak berpenghuni. Detik dan detak dapat dihitungnya
karena berjalan perlahan melenggak-lenggok di kepalanya yang penat. Hingga pukul
16.25 dijalani dengan penuh kesabaran, membongkar2 dokumen yang sebenarnya
telah di koreksinya berulang kali. Beberapa kariawan mengganti kesibukukannya
merapihkan meja dan isi tas yang berhamburan di meja. Namun pria yang bernama
lengkap Setio Arkayudho ini masih tak ingin bergegas. Dia menunggu, menunggu
gadis yang disebutnya gadis desa. “dorrr… serius banget” Penantiannya berakhir
setelah dikageti Via “kemana ajah? Kerjaan numpuk tuh…” dengan nada ketusnya. “itu hanya copyan? Aku sudah mengerjakannya diruangannya pak brian” jawabnya sambil merapihkan meja.
“kerja apa kerjaaa?! Hati2 sama bos-bos Jakarta” pria ini berbicara menatap
camas Via yang sibuk tak memperdulikannya. Gadis ini menoleh mengangkat kening dan
mengangkat kepala seperti setengah mengangguk seakan memperdulikan kecemasan
dan perhatian setio, padahal tidak. Kemudian kembali merapihkan make up dan
rambut tebalnya yang terikat, menguraikannya “I’m ready to the party,,, I wanna
be metropolitan girl” ledek gadis itu berteriak dengan excitingnya “upsss” dan
berlalu meninggalkan setio.
Dua minggu berlalu dengan cepat bagi sii gadis desa. Wajah yang lusuh, bundaran hitam dibawah mata
tertutup oleh tebalnya foundation dan taburan bedak. Masih saja pria ini
memanggilnya “gadis desa”, membuat gadis itu kesal. Namun Via adalah
orang yang dapat mengontol emosinya, diam adalah senjata ampuhnya. Dia beranggapan
dengan tidak memperdulikan akan membuat orang-orang yang mengejeknya kesal
sendiri. Hanya hela-an nafas panjang yang meringankan ulunya yang sesak karena
merasa di rendahkan. Itu bertahan sampai beberapa minggu yang telah berlalu
selama mereka bekerja. “Satrio hanya mencari perhatian” batinnya.
Tak – tuk – tak – tuk – suara heels yang
asing melangkah menuju meja kerja Via. “kamu Via?” wanita ini membuat ruangan
hening. Pakaiannya yang minim menutupi usianya yang mungkin telah beranak 4. Caranya
berdiri, membentak, menatap begitu anggun. Sebagian kariawan mengenalnya,
mereka yang berbisik-bisik adalah kariawan lama yang sudah mengenal wanita ini.
Namun Via, dia sama sekali belum pernah melihat wanita berusia mungkin 40
seperti dia yang berpakaian dan berpenampilan seanggun itu kecuali di TV,
sinetron Indonesia atau telenovela yang terdapat di satu chanel tv kabel ketika
dikampung. “iya bu,” jawab Via tegas kemudaian berdiri dari tempat dia
bersandar, kursi beroda dengan anggunnya perlahan menutupi gugupnya. Via menatap Setio
yang malah ikutan berdiri dan terlihat sangat shok. Setio sudah menduga
sebelumnya bahwa ini adalah istri pak brian, dia bahkan sangat yakin. Kejadian ini
telah diprediksinya sejak dua hari mereka bekerja. Pak brian hampir tiap hari
tak langsung pulang kerumah, alasan apa yang membuat istri tak curiga jika
hampir dua minggu pulang terlalu malam? Setio seakan kesal, marah, karena
harus ada kejadian seperti ini menimpa gadis desa itu. Mungkin karena gadis
desa itu tidak pernah mendengar nasehatnya. Seharusnya dia mempertegas siapa
yang harus di waspadai, bukan bos prianya melainkan istri-istrinya yang bengis
itu.
Wanita itu mengeluarkan amplop tebal, sangat
tebal mungkin berisi sejumlah uang yang besar, mampu membayar setahun rumah
kontrakan 2 kamar pikir Via. “ambil ini! Berikan kepada temanmu tamara, bilang
kepadanya berhenti mendekati Brian, atau kamu saya bikin keluar dari sini”
tegasnya. Kemudian berlalu masih dengan nada heels yang melayang-layang
mengikuti jarak kakinya melangkah.
“siapa Tamara?” pertanyaan pertama yang
dilontarkan Setio, disisi lain dia legah, bukan gadis desa ini yang terlibat
langsung dengan wanita itu ataupun pa Brian. Via dengan santai mengambil bungkusan amplop yang
dia lempar dimeja begitu saja, seakan tangannya tak mau kotor tersentuh oleh
tangan gadis ini. “temen dari tempat yang lo sebut desa,” tersenyum menatap isi
amplop kemudia merubah raut wajahnya menjadi super jutek menatap sekeliling
kariawan yang masih berbisik-bisik membicarakannya. Mereka seakan segan pada
gadis desa yang bahkan belum resmi menjadi karyawan ini, membungkuk dan kembali
pada pekerjaan mereka, melupakan yang baru saja terjadi dan yang lainnya tidak
menghiraukan kejadian tadi. Mungkin akan menjadikan bahan gosip saat di luar
kantor.
“Tamara sahabatmu?” Tanya pria itu lagi
penasaran. Via terkejut mendengar pertanyaan itu, bagaimana tidak? Dia tau
siapa Tamara itu, “sejak awal, kamu sudah menarik perhatian ku,” ucap gadis itu
lantang, wajah yang familiar “ternyata feeling ku benar” mencubit pipi pria itu dengan tenaga
kegemasannya sama seperti dulu mereka pacaran. “enam tahun gk ketemu, ternyata
kamu lebih nakal yah? Berani bermain api dengan keluarga orang kaya itu” omel brondong
2 tahun itu, mantannya. “ya… kalau tidak begitu bagaimana aku bisa hidup
dijakarta?” sahut Via lantang. “itu yang kamu sebut gadis metropolitan?”