Get Money

 

12 Okt 2013

Contoh Makalah Presentasi VB2 dengan localhost

Contoh makalah VB 2 nih.. kali ini gue gk lagi PMS, jadinya sedang baik hati dan memberikannya dengan Cuma-Cuma n_n
Klik ini ini...ini...ini

Kalo mao programnya sekalian, klik ini ini...ini...lagi

Jangan lupa mampir baca cerpenku ^_^
READ MORE - Contoh Makalah Presentasi VB2 dengan localhost

Referensi/Contoh Laporan KKP Terkomputerisasi

Nah… ini dia sijali-jali
Huft ribet ya kulyah, udah banyak tugas, banyak pacar, banyak temen, banyak acara, banyak juga syarat kelulusan program study sampe harus riset or magang segala’.
Mikirin pinjem referensi di perpustakaan yang gk boleh dibawa pulang, mending gampangnya cari referensi di internet.
Yuhuuuu… ini di ague kasih tidak dengan Cuma-Cuma LAPORAN KKP gue yang berjudul ANALISA PEMINJAMAN DANA PADA UNIT GRAHA MAS PT.PEGADAIAN. yang sudah terkomputerisasi.
Pasti pada sulitkan nyari referensi untuk laporan kkp pada perusahaan yang udah terkomputerisasi?!
Hehe sama kalo begitu…
Yaudahlahyah, menjaukan diri dari banyak bacot karna lebih lama itu membuat diri gue ketahuan alaynya..
Ini dia KlikLahhhInih :D


Lanjutannya nih XP Ininihhh...
Jangan lupa mampir baca cerpenku ^_^
READ MORE - Referensi/Contoh Laporan KKP Terkomputerisasi

3 Okt 2013

CERPEN : Selalu Dua Langkah Dibelakang

“Entah kenapa putih abu2 menjadi pusat perhatian bola mataku” itulah yang dikatakan Nadia di dalam hati. Tiga tahun sudah melepas seragam putih abu-abu lengkap dengan cepatu kets-nya yang penuh dengan piloks dan tandatangan. Aku rasa, bukan kenangan dan seragam yang diliriknya “yang itu boleh juga tuh,” katanya kepada temannya Keni sambil mengemut sesendok eskrim sundays stroberi kesukaannya di mall. “brondong?” jawab Keni yang menganggap kalimat temannya itu sebagai candaan. “imoet begete tuh, samperin ah..” ucap gadis Sundays stroberi itu. Nadia sangat suka dengan eskrim Sundays stroberi, bahkan dia akan ke outlet 24jam pukul 3 dini hari hanya untuk segelas eskrim.
“Are you insane?” Keni melepas sendok eskrimnya hingga jatuh kelantai hanya untuk menarik dress yang dikenakan Nadia. Bagaimana tidak? Nadia ternyata serius akan perkataannya, ingin mendatangi pria berseragam SMA itu. Itu membuat Keni syok dan malu akan dirinya sendiri, yang seharunya dia tak perlu merasa demikian. Tapi entah mengapa rasanya seperti sedang mencopet, atau ketangkap basah sedang mencopet oleh gebetan, malu minta ampun. “hey, jangan gila ya Nad,” ucapnya lagi sambil melotot. “yayaya.. ok, gk jadi nyamperin”. Jawab Nadia santai.
Suasana hening menyelimuti mereka berdua. “apa yang ada didalam kepalamu” sambil melirik gadis Sundays stroberi. “otak” jawabnya singkat. “kamu baru jomblo 2 hari, dan ingin mengencani anak SMA?” dengan nada sinisnya sambil melempar gelas kosong eskrim ke tongsampah yang berdiri tak berkutip 2 meter disampingnya. Sayangnya lemparannya meleset, hingga dia harus memungutnya. “hey, liat2 donk”. Keni sepertinya menyenggol seseorang. “aarghh, anak SMA’. Iya sorry-sorry”, masih dengan nada suara badmoodnya. Anak SMA itu kemudian menempati bangkunya disamping Nadia. Nadia terlihat relax meskipun pria disampingnya adalah pria yang ingin dia dekati tadi. Sambil tersenyum kecil menatap Keni yang masih berdiri disamping tongsampah, mulai menghampiri. “excused meee, lo ngambil tempat duduk gue.” Membuat gadis ini tampak lebih marah. “ow, ya sorry” jawabnya sambil menggeser bokongnya setengah meter dari si gadis Sunday stroberi. Keni masih berdiri menatap temannya enggan untuk duduk, kemudian melirikkan bola matanya kearah pria berseragam itu. “ayo kita pergi” jawab Keni sambil menarik lengan Nadia dan berjalan menjauh. “gue gk mau duduk diantara kamu dan pria SMA itu” gerutunya.
Friday yang panas, udara yang menguap dari aspal jalanan serasa mengeringkan kulit. Tapi tidak dengan Nadia yang masih tidur di kamar kostnya yang berAC. Sampai Keni muncul dan menggedor2 pintu kamarnya. “iya bentar” berusaha beranjak dari empuknya kasur bukanlah hal yang mudah bagi Nadia yang terbiasa bergadang. Bahkan jari-jemarinya masih lemas memutar kunci kamar yg tercantol di pintu dengan gantungan hellokitty. Pintu belum terbuka, tapi kunci sudah diputar 360⁰ gadis ini kembali melemparkan tubuhnya kepembaringan. “untuk membukakan gagang pintu pun kamu malas??” cuap Keni. Tak ada jawaban dari gadis Sunday stroberi itu. “mentang-mentang hari ini libur kuliah, kamu bermalas-malasan lagi? Ayolah bangun…” masih meneruskan cuapannya. Membuka jendela kamar, dan membereskan mejabelajar yang bertaburan oleh kertas yg takberarti. “ayo temani aku ke gramed, dan gue traktir kamu eskrim”. Nadia langsung loncat secepat kilat dari tempat tidur. Menyambar handuk yang tergantung di kepala kursi yang sudah ditata rapih oleh Keni. Kini kursinya kembali mengsong.
“buruan sih Nad…” ketus Keni lagi. “ow God, gadis ini seperti nenekku saja. Bawelnya minta ampun” gerutu Nadia. “gue dengar itu,” sambil membuka-buka lembaran majalah gogirl. “kamu kan tahu, gue sudah janji ama nyokap lu mau jagain kamu. Jadi sebaiknya mengeluhlah pada ibumu”. “I’m understand mam, hup” dengan tegap didepan Keni dan memberi hormat. Seperti mayor yang baru saja menerima tugas dengan gulungan handuk dibadan dan lilitan handuk dikepalanya. Terlalu sigap, hingga membuat handuknya merosot. “ups” berlari kedepan lemari dan merapihkan kembali handuk dibadannya.
“kita beli eskrim dulu, baru kegramed kan?”
“Gk, ke gramed dulu! Didalam gramed gk bisa bawa makanan nad”.
“ih tapi gue mau eskrim Ken. Ywdh lu ke gramed sendiri terus gue ke eskrim. Nanti gue nungguin lo didepan gramed, gmn?”
“ywdh. Nih ceban (10rb) jgn lupa kembali buat parkiran”. Nadia mengambil uang terlalu semangat, seperti ingin merampok uang tersebut dari tangan nenek-nenek dan pergi begitu saja.
                Suasana gramed tidak terlalu ramai, para pembaca komik duduk dilantai pojokan lemari bersembunyi dari pegawai yang selalu melarang duduk dilantai. Selalu kata mereka demi kenyamanan pembaca lain. “EKONOMI” tulisan disebuah papan merah yg digantung dilangit-langit gramed menandakan lemari buku ekonomi berada dibawah sana. Keni menatap kearahnya menuju lemari itu berharap tidak menabrak atau menginjak kaki orang. “aww” jawab seseorang, terdengar suaranya dari bawah. “ow sorry-sorry” Keni kembali meneruskan perjalanannya dan kembali memperhatikan “EKONOMI” dilangit-langit gramed. “gadis itu lagi” gerutu pria ini. Kemudian mengangkat dengkulnya yang sedang bersila, mengeprok-ngeprok jins hitamnya yang kotor ditendang Keni. Dahinya masih mengkerut, meninggalkan komik yang belum kelar dibacanya ketempat asalnya dan berjalan menuju pintu keluar gramed. Masih membungkuk mengeprok-ngeprok dengkulnya “kenapa?” Tanya Nadia yang duduk dibangku panjang depan pintu gramed. Pria ini mengengkat dagunya melirik gadis yang menggenggam eskrim Sunday. “kamu? Temanmu menendangku tadi, tanpa merasa berdosa dia langsung meninggalkanku” jawabnya dengan nada kesal, menghampiri bangku yang diduduki nadia dan meluncur duduk, namun masih menyeka-nyeka celananya.  “ommm…” Nadia mengangguk, dan kembali mengemut sesendok eskrimnya. Pria ini menghentikan aksinya membersihkan celana, meluruskan punggungnya yang membungkuk.
“kenalin nama gue jo’’ mengulurkan tangan kirinya. Nadia membalas mengulurkan tangan kanan, namun binggung bagaimana harus menggenggam tangannya. “ow sorry, kebiasaan kidal” dan mengganti menjadi tangan kanan. Itu membuat Nadia tertawa. Mereka berdua berbincang-bincang  sambil mengelilingi  mall dan singgah disebuah kedai kopi, menikmati perkenalan mereka. “jadi Keni itu dibiayain kuliahnya sama ortu lo, sebagai imbalan harus ngejagain lo dijakarta?!” Nadia mengangguk, “dan menuntunku agar cepat lulus kuliah, gadis itu sangat berprestasi, itu yang membuat nyokap gue simpati ama dia. Bahkan jajan gue lebih kecil dari gajinya makanya dia suka mentraktirku makan eskrim. Gue ngerasa kalo itu sebagai ucapan terimakasih or sogokan or blabla agar gue tetap betah akan caranya dia yang bawel memperlakukan gue” lanjut nadia bercerita tentang Keni. Handphone Nadia bergetar “hallo”. “lu dimanaaaaaaa??” teriak Keni ditelp, bahkan jo bisa mendengar teriakan itu, like gempa yang akan mengguncang bumi membuat HP Nadia bergetar. Gue dikedai kopi, kesini aja.
Keni melirik kekanan dan kekiri menelusuri meja yang ditempati Nadia dengan matanya yg jelih. “itu dia” menghampiri Nadia. “elooooo?? Cowo breseragam SMA! Mana seragam lo?” teriak keni. “kirain lu lupa ama niorang” ucap Nadia. “ini minggu, kenapa gue harus pake seragam?” jawab jo. “baru minggu lalu,” nadanya sombong. “ingatan gue cukup kuat untuk inget muka orang dalam 2bulan meskipun baru ketemu sekali. Ayo pulang.” Keni menarik tangan nadia untuk beranjak dari tempat duduk. “emmm…” Nadia menatap jo dengan kerutan didahinya menandakan masih ingin berbincang2. Dan jo yang tersenyum tak percaya akan perlakuan keni yang sebenarnya. “biar aku yang bayar” jawab jo yang masih duduk disana menghisap sebatang rokok dari jemarinya. Mereka meninggalkan jo.
Suasana di perjalanan menuju besment hening, nadia yang sibuk mengutak-ngatik HPnya tidak mengeluarkan sepatah suara. Kenipun begitu. “smsan ama siapa sih?” keni merampas hp nadia. Nadia hanya tersenyum kecil “jangan lancang ya ken, plis” Nadia kesal, namun dia selalu tau cara mengendalikan emosi, tahu kapan harus berteriak marah, dan tidak. Kali ini dia berkata dengan lembut, seperti nada memohon. Itu yang membuat Nadia selalu unggul dalam nilai presentasi, hanya cukup pintar mengendalikan emosi, dan pintar berbicara.
Belum sempat melihat, dia mengembalikan hpnya.
“Nad, lo dimana? Gue didepan kamar lu”.
“gue lagi jalan.” Jawabnya byphone.
“kemana? Kq lu gk bilang gue?” nada suaranya mulai berubah marah.
“harus?” jawabnya singkat. Nadia mematikan telp. “hmmmm… hoooo…” nadia menarik nafas dan mengeluarkannya. “cara ampuh meredam emosi” kata jo sambil menatap dengan senyum manisnya kearah nadia. “konsentrasi aja itu bawa mobilnya…”nadia memalingkan wajah jo yang menatapnya dengan jari telunjuk. “thanks ya hari ini udah ngajakin ngegym” ucap nadia dari luar mobil menyenderkan dadanya di kedua tangannya yang memegang kaca mobil yang terbuka. “iya, bye” senyum jo.
Nadia beranjak menuju kamar kost. Dari jauh dia melihat pintu kamarnya sudah terbuka. Dia tidak berpikir kamarnya dibobol oleh maling, mengingat sekarang sudah pukul 22.35. Dia terus berjalan perlahan sambil menaro kembali kunci kamarnya yang sudah dikeluarkannya sedari tadi ditas birunya yang kotak. Keni yang duduk bersender di kepala kasur sambil membaca buku “Analisa Manajemen Bisnis” yang baru dibelinya kemarin. Keni melirik menatap temannya itu dengan tatapan sinis. “dari mana?” tanyanya. “ngegym” jawab nadia siangkat. “ama anak SMA?” dengan nada ketusnya. Nadia hanya mengangkat alis kirinya, wajah sombong yang lama tak terlihat merenggutnya dari lirikan matanya. Dia jarang mengeluarkan ekspresi itu kepada orang-orang yang dikenalnya. Biasanya kepada adik-adik kelas yang diplonconya pada saat MOS SMA dulu. “wajah songong” kata adik-adik kelas menjuluki Nadia. Melepaskan seluruh bajunya dan masuk kemar mandi, menyalakan shower. “gue disuruh ngejagain lo, gue udah janji ama diri gue kalo gue gk bakal makan gaji buta dari nyokap lo. Harusnya lo ngertiin dan mau kerja sama ama gue! Biar kerjaan gue gk terlalu sulit” teriaknya didepan pintu kamar mandi. Nadia melilitkan handuk dibadannya yang masih basah, membuka pintu kamar mandi. “nyokap gue ngebiayain kuliah elu, bukan karna lu harus kerja ama dia. Tapi karna dia kasian ama elo!” menunjuk dengan keras dadanya membuat Keni terdorong 2 langkah kebelakang. “dia nyuruh lo nuntun gue biar kuliah gue bener, bukan berarti lu lancang ngeganggu kehidupan pribadi gue! Siapa elo ngatur2 hidup gue?” matanya melotot, marah. Mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, menyandarkan pantatnya di kursi kayu, berusaha tenang mengendalikan emosi. “sejak kapan lo ngerokok?” keni menghampirinya berusaha mengambil rokok itu “gue gk ngerokok sejak lu sok berlaga bos didepan gue dan ngatur2 hidup gue! kalo masih mau dibiayain sama nyokap gue, brenti lu ngatur-ngatur gue!” nadia membuang pangkal rokok yang masih menyala dikaki gadis sok bos itu yang menghindari api rokok karena bisa melepuhkan kulitnya. Suasana hening sejenak, masing2 dari mereka memikirkan apa yang ada di kepala lawan mereka masing-masing. Nadia bersandar santai pada kursi sambil memperlihatkan wajah songongnya kepada keni “lo mau pergi apa gue panggil satu RW buat ngusir lu? Cewek lancang!! Pinter kok gk tau sopan-santun?”
Keni berjalan keluar pintu, hampir menyambar jo yang berdiri disana. “ini semua gara-gara lo” berteriak, menangis, dan berlari meninggalkan. Nadia berjalan menuju pintu heran kepada siapa dia menyalahkan. “ups, gue lagi mau mandi” sambil merapihkan handuk yang melingkar ditubuhnya. “ow iya,” membalikkan badannya “ini, hp kamu ketinggalan” menyodorkan tangan kirinya kebelakang. “iya thank’s… besok kita bicarakan lagi” raut wajah nadia memerah, malu. “oh ya, sure… bye” berjalan meninggalkan Nadia tanpa menengok. “tidakkah kamu mau menengok kebelakang?” teriak Nadia kepada jo yang sudah agak jauh. Jo memutar lehernya menengok kearah nadia yang tersenyum malu menyembunyikan badannya dibalik dinding sambil melambaikan tangan.
Aku rasa besok mereka akan jadian, sedangkan Keni? Sepertinya dia mengikuti saran nadia untuk tidak pernah lancang dan mengatur2 orang seenaknya. Tentu saja agar Nadia tak menghambat pendapatannya dari ibunya.
“huhuhuhu aku hanya cemburu dengan gadis itu! Dia selalu lebih dibandingkan aku” tangis keni dikamar kostnya.
“seharusnya dia tidak membuat aku marah! Dia akan sadar kalau dia selalu dua langkah dibelakangku!” ucap Nadia yang sudah berbaring dikasur empuknya bersiap untuk membentuk mimpinya yang indah.

The End
READ MORE - CERPEN : Selalu Dua Langkah Dibelakang

22 Sep 2013

ISN'T MY REAL FACE

BIG EYES  with CrazyTalk CamSuite, magic mirror, morph, effect, turban, hijabers, cute, pict of my self, webcamp, enjoy :) all and 6 favorite..
"abang gue yg menyebalkan ngajakin ke kondangan. dia begadang mungkin tidur saat matahari sudah menyinari malam. pukul 6 pagi. sebelum gue tidur, sambil main game online dia berkata 'bangunin jam 11. setelah lu makeup, lukan makeup lama'. matanya masih menatap layar komputer. 'iya' jawab gue singkat. paginya, seperti biasanya dihari minggu, membuat roti, kopi, energen, kemudian duduk ngampar depan ruang tamu sambil menatap pc. pukul 10.23 gue beranjak dari lantai yang tidak empuk pastinya dan mandi mengingat emang gue kalo makeup itu lama. apalagi kekondangan :D 
'a' bangun' kata gue sambil mencolek2 pipinya. 'putri udah kelar makeup. matanya melek melirik kearah gue kemudian tertawa. aku meninggalkannya kedapur membuatkan secangkir energen new testi strowberi dan kembali kekamar 'a' nih energen! ayuuu banguuun' kataku lagi berdiri didepan dia tidur. dia kembali tertawa. 'kayaknya gk jadi niorang jalan kekondangan' dalam benakku. sayang sekali diri ini sudah dandan n pake turban. akhirnya punya ide buat bikin wajah pegel dengan foto2. dan ini hasilnya..." CEKIDOT -->
"INI CERITAKU.. APA CERITAMU??" korban iklan -_-!

BIG EYES , magic mirror, morph, effect, turban, hijabers, cute, pict of my self, webcamp

BIG EYES , magic mirror, morph, effect, turban, hijabers, cute, pict of my self, webcamp

READ MORE - ISN'T MY REAL FACE

12 Sep 2013

CERPEN : Kapan Aku Akan Mati Tuhan?

Aduh-aduh-aduh pusing tujuh keliling, tidak pernah punya the real pacar, tugas kuliah numpuk, tidak punya uang, pengisi hatipun sirnah”. Seandainya kalian bisa mendengar nyanyianku diatas, itu lagu yang aku ciptakan sendiri. Aku akan memberikan judul “kekasih tak sampai”. Itu konyol, judul lagunya tak singkron dengan dompet kosong, bahkan aku ini seorang jomblo, meskipun bukan jomblo setia, karena kerap kali aku menjadi selingkuhan.
“hon, kamu jangan SMS aku dulu ya?! Pacar aku curiga nih sama aku. Sampai aku sms kamu lagi, love you”. Kira-kira begitulah isi SMS terakhir Herman 2 bulan yang lalu.
“oh… jadi kamu cewek penggoda pacar aku? Jauhin gk pacar aku, atauuu..” sambil mengangkat lengannya ingin memukulku. Tentu saja dicegat oleh pacarnya sendiri, Very pria lain yang menjadikanku selingkuhannya. Enak ya jadi selingkuhan, pasti selalu dilindungi. “oh jadi ini beb cewek yang jadi pacar kamu?” sahutku santai. “aku sih gk level bersaing dengan gadis kampungan, dekil, pendek, jelek kayak kamu,” aku melirik very dengan tatapan sinis, dia membalas dengan tatapan disappointed. Sedangkan pacarnya? Tentu saja dengan red face dan marah. “tentu saja aku akan menjauhi Very, setelah tau seleranya rendahan kayak kamu. Lagipula dia yang mengajakku berkencan”. Dengan anggun aku berbalik badan dan berjalan meninggalkan mereka. Kejadian itu tepat sehari setelah Herman mengirim ku SMS diatas, dua bulan lalu. Bulan itu adalah bulan terberat tahun ini. Meskipun ada beberapa pria lain yang mengajakku berkencan yang berakhir naas seperti itu ditahun2 kemarin. Tapi Herman dan Very adalah favorite ku, karna tak pernah memberiku barang, tapi cash money.
Pacar? jangan tanyakan padaku mengapa aku tak punya pacar. mungkin akan ada diakhir cerita, so keep read and enjoy haha
“kamu adalah gadis yang cantik, sekolahlah yang benar, dan terus belajar”.
“Dear, ayah so pround dengan prestasi2 mu”.
“Don’t stop belajar kid”.
Ya kurang lebih itulah kalimat yang aku ingat dari ayahku yang telah lama meninggal. “I’m boring belajar ayah, aku tidak bisa menikahi fisika atau kimia. Bahkan memeluk geografi, kecuali dengan guru-guru mata pelajaran tersebut. Tapi seleraku bukan pria tua ayah. Mungkin ayah sudah melihatnya dari surga, aku tak lagi gadis kutubuku, aku bosan belajar ayah, dan aku memiliki banyak pacar. sebenarnya pacar orang lain.” Dan kalimat itulah yang aku ucapkan setiapkali ziarah.
Memutuskan untuk menjadi selingkuhan pada umur 15 tahun itu tidak gampang, karna aku melewati sebuah alasan yang membuatku memilih option tersebut.
“kamu akan mendapatkan apapun yang kamu mau jika kamu terus belajar nak” sambil mengusap punggungku. “I don’t think so mah! I can’t get boyfriend, can’t get bestfriend, fun, holiday, I can’t breath”. Sambil menangis ku ungkapkan semua kekesalanku. Bahkan mama ku tak bisa begitu jelas mendengear apa yang aku katakan, begitu terisak. “why this happen to me?” mama bahkan bosan dengan pertanyaan itu. “buka hatimu, kamu terlalu mengunci hingga tak ada orang yang bisa masuk. Jangan biarkan ini kosong” sambil menunjuk dadaku, dan kemudian dia memelukku erat. Aku tak bermaksud mengecewakannya, tapi aku hanya ingin lagi mendengarkan apa kata hatiku. “aku pernah merasakan kecewa karna ditinggal ma, aku tak akan membiarkan orang lain merasakan hal yang sama. Pergilah ma, pergilah dengan pria yang telah menggantikan ayah, lupakan bahwa aku pernah dilahirkan”. “ayah tak pernah tergantikan nak”. Suara hafasnya menghilang, langkah kaki tak pernah lagi terdengar. 3 hari aku mengunci diri di rumah ayah  yang jauh dari keramaian kota, ditengah2 kebun cengkih yang dia tinggalkan. Mama bahkan tak ingin mengurus kebun ini untuk ayah, dan berencana menjualnya. Dia lebih memilih tinggal bersama pria amerika itu.
Mamah tidak seburuk itu, mungkin karena aku kesal kepada Tuhan dan takdirku, hingga aku berpikiran buruk kepada semua orang seperti yang kalian baca barusan. Meskipun terkadang dia lupa mengirim uang jajan seperti sekarang. Papa tiriku juga, dia mengajakku tinggal bersamanya dan mamah di DC untuk berobat, bahkan uangnya habis untuk obat2an yang aku minum hingga sekarang. Aku memutuskan menyetujui menjual perkebunan ayah untuk membantu pengobatan, dan biaya kuliaih. Dan aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian di indonesia ini setelah difonis hidup tinggal setahun pada umur 15. Dan memutuskan untuk menghabiskan waktu bersenang2, mengganggu hubungan orang lain dengan menjadi selingkuhan. Yang aku bingung mengapa aku masih hidup hingga sekarang berumur 21? Bahkan sudah menjadi dishonest professional? Haha.
Arteri koroner katanya. Ah bulshit dokter2 itu! Atau memang karena aku yang selalu tertawa? Mungkin karena koleksi DVD Tom&Jerry yang selalu membuatku tertawa dan tak pernah membuatku bosan? “Tertawa bahagia bisa memanjangkan umur” do you believe that?
“rani, ini fita dikelas kosmologi dan logika matematika. Kamu udah belum tugas yang dikasih pak eduard?” suara dari telpon. “ya sudah. Kamu mau liat?” kataku tanpa basa-basi. “yasudah, bagaimana kalau aku kerumah kamu?” jawabnya excited “kamu sepertinya mahir dimata kuliah ini, tolong ajari aku ya.. kayaknya aku salah masuk jurusan deh, semuanya gk ngerti, padahal aku Cuma pintar dibidang fisika dan matematika, aku pikir astronomi itu indah, ternyata sulit… bla…bla… bla… ” oceh-nya cepat. Aku terdiam sejenak, mengingat yang dikatakan mama “buka hatimu,” like a song you know? By armada hahaha lagi. Aku memikirkan kalimat yang pas untuk tidak membuatnya kecewa atau menganggap aku ini sombong akan prestasi dikampus “maaf ran, aku sedang gk dirumah, aku kirim email aja ya?” aku tak ingin membuka hatiku. Sama sekali gk ingin membuat mereka merasa kehilangan sekalipun itu wanita, atau pria. “mm.. ywdh deh. Lainkali boleh gk?” tanyanya “sms aja alamat emailnya, dah” tuut…tuut…tuut… putus, memotong pembicaraan. Huftttt…
Terkadang aku merasa bingung dengan prinsip itu. Aku bahkan belum di izinkan untuk mati. Tapi aku masih saja takut membuka pintu hati ini bahkan untuk seorang teman. Mungkin karena aku merasa ajalku sudah sangat dekat, sedang membuntutiku. Aku takut ketika malam tiba, meskipun aku bisa melihat bintang yang bertaburan nan indah yang selalu aku tunggu-tunggu dikala siang, tapi aku tak ingin tidur dan tak bisa bangun lagi dipagi hari.
Mungkin aku akan hidup dengan prinsip itu meskipun itu membuat aku terkekang seumur hidup. Dari pada harus membuat orang-orang terdekat kecewa karna kehilangan seperti kecewaku kehilangan ayah. Kapan aku akan mati Tuhan? Prinsip itu perlahan telah membunuhku.
Well setelah menulis cerita ini, aku akan memutar seri “Heavenly puss” Tom & Jerry. Cerita itu tak pernah membuatku bosan :D
READ MORE - CERPEN : Kapan Aku Akan Mati Tuhan?

23 Agu 2013

CERPEN : SYAHLA

Langit2 rumah ini tak memilik 1 warna. Tidak kompak mengindahkan mata yang memandang, mungkin karena telah berabat2 dia disana, terendam hujan dan binatang yg sembarangan mengompol. Aku memandang sekeliling rumah seorang ibu setengah baya, kemudian masuk kedalam kehdupannya. "Bagaimana bisa dia mengadopsi ku? Sedangkan rumahnya saja sangat tidak layak di tempati" gumam ku dalam ketakutan.
Rumah ini gelap, lantainya berubin kuning dengan beberapa tambal semen menutupi bolong bolong pijakan kaki, sungguh menyedihkan. Dia bahkan tak memiliki pemanas air, hanya neon kuning 15watt dan ricecoocerlah barang elektronik dirumah ini. Umurku 8tahun saat itu. "Apa dia ibu kandungku? Bukankah yg layak mengadopsi adalah dia yg berkelebihan menghidupi dirinya?" gumamku lagi. Hanya sebuah kotak persegi rumah ini, tak ada depan dan belakang. Dua kamar berhadapan dan satu kamar mandi kita gunakan bersama. Dapur kecil itu akan menjadi tempatku memasak nanti "wah ada taman kecil dibelakang rumah" gumamku. aku berpikir untuk menamam seledri, dan lidah buaya.
Dia pasti tak butuh surat adopsi jika aku anak dari rahimnya, itu tergantung rapih dalam bingkai foto di kamarku, "apakah dia melakukannya agar aku tak kasihan setiap menyuntiknya?" Itu masih sebuah pertnyaan yg mendugaduga. Ibu tua ini begitu sakit, aku diajarkan untuk menyuntik insulin dua kali shari setiap jam 3 sore dan jam 5 dinihari setelah subuh kujalani. pembicaraan begitu terbatas, dia paling sering berkata dan selalu mengucapkan "bersabarlah little girl." Dia tak pernah menceritakan suami, atau anak. Tentusaja dia tidak punya anak makanya mengadopsi. Hingga aku merasa berumur 18 tahun. Hanya merasa karena aku tk pernah menghitungnya, mungkin aku lupa kapan hari ulantahunku. Aku menceritakan bahwa aku senang mendapat sebuah sertifikat bertuliskan "Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional & ijazah SMA" ibu itu mampu membayar homescholling yang ku jalani selama ini "bernyanyilah little girl untuk merayakan kelulusanmu" jawabnya. Dia sangat senang mendengarku bernyanyi, aku akan bernyanyi setap pagi jam 6 dan sore jam 4 ketika mandi, sometimes jika sedang memasak, aku akan bernyanyi. "Kalian pasti bertanya dari mana aku bisa mengenal musik jika aku terkurung dirumah tanpa Tv dan radio?" Guru homescholling lah yg mengenalinya, itulah caranya mengajariku bahasa inggris. Kami tumbuh bersama. Selain ibu, merekalah orang yg aku kenal, "owh iya, aku tidak akan melupakan tukang sayur yg tiap hari mengantarkan bahan2 masakan kerumah kotak ini".
Aku sudah menyayangi ibu ini, meskipun dia tak  banyak memberi perhatian layaknya ibu yg diharapkan anak2 panti lain ketika di adopsi. Tapi dia membuatku merasa cukup. Aku mengurusnya dgn spenuh tenagaku meski aku harus memandikan atau mengganti popoknya. Sepuluh tahun sudah aku terjebak disini, ditemani rutinitas bersama tembok2 bercat usang, sunyi. Terkadang aku ingat keramaian di panti asuhan, teriakan anak2 mengajakku bermain "syahlaaaaa" suara kaki mungil yg tak henti berlarian menghiasi hari2. Ingatan itu selalu bergentayangan, seperti baru terjadi kemarin setiap aku menatap bingkai yg usang tergantung didinding dengan paku yg berkarat, "hey 10tahun lalu itu belum berkarat" aku memperhatikan tanggal hari pertama aku dipungut. Yaitu hari ini. Aku sangat bersemangat menuju kamar, menghampiri ibu yg sudah siang tak kunjung keluar dari kamar. "ibu, syahla bisa masuk?" tak ada jawaban, hening. Aku menuju dapur dengan harapan ibu baik2 saja di dalam. "Mungkin dia sedang melamun seperti hari2 sebelumnya" semakin tua, semakin kurus, semakin jarang bicara, semakin banyak melamun.
Aku mondar mandir didalam rumah yg kecil ini, khawatir akan ibu yg tak kunjung keluar dari kamar, ini waktunya suntik insulin, sekali lagi aku mencoba mengetok2 pintu. "Ibu... Ibu.." Entah berapa lama aku memanggil kalimat itu hingga air mata ini tak terbendung. Aku sama sekali tidak pernah mendobrak pintu, aku takut dianggap tak sopan, dan hal itu membuatku malu. 
"Syahla... tok tok tok" aku loncat secepat kilat dari depan kamar, mengusap air mata yg kemudian mulai berhernti mengalir. "Kamu kenapa?" salah satu guru homeschooling ku dtg ingin mengajar. Ini hari selasa waktunya untuk biologi. Mem Rhisa yg mengajarkan Bahasa Prancis dan Biologi. "ibuuuuu..." kataku takut, kemudian kembali lagi aku menangis. Wanita ini langsung berlari menuju kamar, mendobrak. Jantungku seperti terpukul, seiring dgn rasa sakit pintu yg didobrak badan wanita itu, bersikeras merusak pintu. "Mamaaaaah" teriak wanita itu gemetar dan tangis yg membanjiri wajahnya...
***
Aku tak henti2nya membaca Alquran, menghatamkan untuk kepergian ibu. Bersama 3 guru homescholing di rumah yg begitu besar, atap yg indah, bohlam2 yg terang, ubin granat yg besar, dan banyak kamarnya. Aku mendapat tumpangan dikamar depan, kamar tamu katanya "biar syahla tidur di kamar tamu" ucap mem inggrit yg mengajar fisika, kimia, dan bahasa indonesia. Dia begitu anggun nan menawan, anak tertua mungkin. Orang2 berdatangan dan berlalu, memberi belasungkawa, yg lain membantu menghatamkan Alquran.
Hari ke empat stelah kematian ibu, aku diajak kesebuah ruangan keluarga, bersama pria berdasi rapih membawa beberapa dokumen yg ditentengnya oleh tangan sebelah kiri, tentu saja dia bukan salah satu anak ibu dan bukan salah satu orang yg ada di album keluarga atau foto keluarga raksaaa yg tergantung disetiap sisi ruangan, dengan bingkai raksasa juga. Sepertinya dia akan berbicara "ekhem.. surat warisan," matanya beralih menatapku "harta yang dmiliki ibu maya sarawati adalah bakery store, cave hardbakery, rumah ini senilai 8M dan rumah kotak senilai 200jt," dia kembali mengeluarkan dahak "ekhem" kemudian menatap sekeliling, aku juga menatap satu persatu guru homeschoolingku, menatap canggung "aku hanya belum terbiasa" batinku sambil mengambil nafas panjang dan membuangnya perlahan. Aku pecaya itu mampu menghilangkan gugup. Ser Billi tersenyum, seakan ingin menghilangkan kekhawatiranku. Seakan kita sedang bernyayi "we'll be alright" bersama di sini, menunjuk dada. Yaaa.. Seperti saat sebelumnya, seperti setiap hari jumat dia datang mengajarkanku bahasa inggris atau hari sabtu untuk pelajaran matematika dan sejarah. Kadang kami gunakan untuk bernyanyi dan mendengarkan cerita film2 yg baru saja dia tonton, kedengarannya seru dari pada harus mendengarkan cerita terbentuknya monumen nasional, Organisasi VOC ASEAN, peperangan diindonesia. 
"Bakery store di pimpin oleh Ingrit, cave hardbakery oleh Rhisa, rumah senilai 8M oleh Billy dan rumah kotak untuk Syahla" pria itu melanjutkan. Aku masih syok untuk tau ternyata smua guru homeschoolingku adalah anak ibu, bahkan aku baru tau ibu bernama Maya, sekarang pria itu membuatku tambah kepayangan.
***
Hari2 berlalu, aku kembali kerumah kotak diantar oleh Ser Billy, pria yang tumbuh bersamaku. Mungkin dia berumur 26th, "Hey, punya planing untuk tinggal bersamaku dirumah seberang saja?" Pria ini memang selalu mengalihkan perhatianku. Dari cara bicaranya, dan caranya menceritakan sesuatu sangat cocok untuk menjadi sejarawan.
"Aku menyayangimu ser" sayangnya kalimat itu tak dapat ku katakan, tersangkut di tenggorokanku. Aku menggelengkan kepala. "Kalau begitu aku akan tinggal disini," Dia menatapku tajam, seakan serius akan ucapannya. Aku gugup, jantungku berhenti berdetak, kalimat itu seakan menjadi pembicaraan yang canggung. Aku tak begitu pandai berbicara, mungkin hatiku telah bisu, mungkin terbiasa diam melenyapkan harapan, menghancurkan mimpi. Aku masih terbiasa dengan jam 3, ada aktivitas disana, memegang suntik, kapas, alkohol, dan insulin. Mungkin ini caraku melenyapkan pembicaraan tadu. Aku terbiasa bernyanyi, menandakan aku masih bernafas. "Sekarang, aku akan mengubah kebiasaan itu" katanya, mengambil ibat-obatan itu dari tanganku dan mengepack semua perlengkapan ibu untuk dibuang "maukah kau membantuku membuang kenangan? dan membentuk kebiasaan baru bersamaku?" aku hanya mengangguk, itu cukup. "Apa aku sudah menjadi anak yg baik untuk ibu?" Akhirnya aku bicara. Kurasa kalimat itu mengalihkan pandangannya "Kamu sudah berikan yang terbaik untuk Ibu, sekarang belajarlah menjadi istri yang baik". Aku ingat dulu ketika aku menerima ijazah SD dia berkata hal yang mirip dengan itu "kamu harus berikan yg terbaik untuk ibu, dan belajar menjadi pacarku yg baik" menggenggam tanganku yg masih mungil kemudian menciumnya. Satu kalimat itu melenyapkan kesedihanku, dan menyelimutinya dengan harapan masadepan yg cerah, dengan lukisan senyuman.
"Besok kamu akan ku ajak melihat dunia" katanya, mengakhiri cerita kesunyian.


READ MORE - CERPEN : SYAHLA

CERPEN : Gk Suka Perceraian

"Cinderela yg kehilangan cepatu kacanya akhirnya menikah dan hidup  bahagia dgn sang pangeran. Itu yg mereka percaya, sebenarnya tak ada kisah yg bahagia setelah menikah. cinderela terlalu takut mengexpose khidupan stelah pernikahan mereka. Pangeran kini menjadi raja dan di perbolehkan poligami, jadi dia memiliki istri 4 disetiap bagian istananya yg besar. Bagian utara istri mudanya berumur 15thn, mereka baru saja menikah 2minggu yg lalu, namun perutnya sudah membuncit seperti berumur 6bulan. Bagian Timur istana ada istri ke 2nya berumur 17thn, yg sedang repot menyusui anaknya yg kembar. Bagian barat ada istri ke 3 berumur 20thn yg sedang mengepak barangnya, dia ingin pergi menceraikan Raja. Mungkin tak tahan karena Raja jarang mengunjunginya, mungkin dia akan menikah dgn sang petani mantan pacarnya yg masih sering mengSMSnya dan hidup bahagia di desa, tapi si petani akan poligami stelah 10thn pernikahannya karena panennya yg banyak dan menjadi kaya. sudah ku bilang tak ada yg bahagia setelah pernikahan. Lalu Cinderela sendiri di istana bagian Selatan, sedang menangis karena tidak dikaruniai anak." kemarin gadis ini bercerita ttg kisah perceraian beauty and beast. Dia merasa perlu meyakinkan Sahabatnya untuk tak percaya akan kisah yg indah pada waktunya.

"Kamu sepertinya trauma akan pernikahan cell, pernikahan orang tuaku berjalan baik. Mereka hidup rukun, akur, tentram dan damai bersama kami anak2nya. kamu tak perlu pikirkan kakakmu yg menjanda, ibu dan ayahmu, pamanmu yg telah menduda 3kali dan kluargamu yg lainnya yg meskipun smua tak ada yg berhasil dalam pernikahan mereka" Dengan percaya dirinya marcello.
***

Beberapa bulan kemudian "sudahlah Cello, sudah ku bilang tak ada yg indah setelah pernikahan." gadis ini tersenyum, tersenyum menghibur, dalam lubuknya dia tersenyum menang. "mungkin aku jahat telah tersenyum ketika sahabatku sedih, tapi aku sudah seribukali meyakinkannya agar tidak percaya. Aku melakukan semua ini agar dia selalu siap dgn apa yg akan dihadapinya, aku ingin dia tidak merasakan kiamat seperti apa yg aku rasa meskipun sekarang orangtuanya baru saja bercerai." batin gadis ini.

"Itukah sebabnya kamu tak pernah berpacaran?" marsello memalingkan wajahnya dari langit, menatap dalam kedua bola mata gadis ini. Dia penasaran apa yg membuat gadis ini begitu rapuh, begitu yakin tak ada yg indah pada waktunya. "i think so" jawabnya lantang. Suasanya menjadi canggung, bintang-bintang sekejap sirnah yg tadinya indah berhamburan. Awan gelap tak begitu jelas karena malam menyamarkan hitamnya. Mereka berdua sering melakukan ritual ini setiap Marsello putus cinta, setiap Marsello ditinggal bosan gadis2 yg pernah mengejarnya. Menceritakan suka dukanya kepada Cella dan cella akan menceritakan dongeng after weding versinya. Seperti kisah cinderela diatas.

Ritual curhat2an ini telah terjadi selama bertahun-tahun di atap rumah Marsello, kadang di taman rumah Cella jika rumput2 jepang tak berembun basah oleh udara dingin yg merenggut sore. Cella bangun dan duduk dari perbaringannya diatas tikar bergambar telletubis, yg tergeletak diatas beton tebal atap rumah cello. "sepertinya akan hujan" ujar gadis ini. "apa kamu tidak percaya cinta?" tanya sahabatnya lagi, masih berbaring menikmati angin2 yg diciptakan malam. "tidak...!" raut gadis ini berubah datar. "Tidak adakah Pria di kampus yg membuatmu jatuh cinta?" pria ini memberanjakan tubuhnya dari tikar, duduk sangat dekat dgn sahabatnya yg sedang mengangkat dagunya menatap langit. "pertanyaan macam apa itu?" batin gadis itu lagi. Jantungnya jadi berdebar, suhu badannya memanas mengalahkan udara dingin yg meniup2 tubuh mereka. Gelengan kepala dia rasa cukup untuk menjawab pertanyaan pria ini, yg sudah bertetangga dgnnya sejak lahir. Gelengan kepala itu berakhir dengan tatapan marahnya, dia menutupi gugupnya. "Aku suka kalau kamu marah, kamu terlihat cantik" cella berhenti menatap, "bagaimana caranya menutupi senyuman?"ujar gadis ini dalam hati.

Cello mengkerutkan dahinya "kalo aku ngomong, liat dong mataku" sejenak suasana hening. Gadis ini tak ingin memalingkan wajahnya yg disembunyikan oleh rambutnya yg panjang dan tebal, dia masih ingin menyembunyikan senyumannya. Tangan yg halus menghampiri dagu gadis ini, membuat rambutnya jatuh terurai, membawa rautnya berhadapan dengan wajahnya yg rupawan, mengecup bibir mungil yg belum tersentuh oleh bibir pria lain. Gadis ini meneteskan air mata yg mengalir di pipi kanannya. Jantungnya yg sedaritadi bedetak laju, berhenti seakan mati. Seluruh badannya menjadi kaku. "Sudah lama aku ingin melakukan itu agar hatimu mencair... aku ingin mengajarkanmu apa rasanya cinta. Tapi kamu selalu meyakinkanku bahwa cinta itu sangat pahit bagimu... Apa persahabatan kita selama ini begitu pahit bagimu?" setetes air mata tadi telah kering, meninggalkan bekas. Wajahnya masih menunjukan kekokohan hati, dendam, memancarkan amarah yg disimpannya, dia seperti bisu. Bahkan bisu tidak sama sepertinya. Kemana suara Cella yg selalu menentang dunia?

"Bagaimana kalau ternyata aku begini karena cemburu?" akhirnya kalimat keluar dari mulut gadis ini. Kali ini Marsello terlihat bingung "jelaskan" jawab marcello singkat. "Bagaimana kalau ternyata aku menentang cinta karena cemburu kepada mu? cemburu kepada pacar2 mu?! Aku hanya ingin meyakinkanmu cinta itu pahit agar kamu berhenti bersenang2 dgn gadis2 itu berhenti mencintai orang lain selain aku. Iya, persahabatan kita sangat pahit, karna aku terlalu lama diselimuti cemburu oleh cerita2 cinta mu  itu". Gadis ini gemetar, emosinya menusuk jantung yg memompa darah dgn cepat keseluruh tubuhnya. Pria ini membisu, dia tak tau apa yg harus dikatakannya "ternyata sahabatku begini karena aku?" batinnya, disisi lain dia tak mengerti mengapa ini terjadi kpd sahabatnya.


Cella berdiri meninggalkan pria yg telah membekukan hatinya "hatiku telah mengkristal dan terlapisi oleh baja, tak akan tembus oleh kecupan kecilmu itu" ucapnya sambil berlalu. Kecupan itu membuatnya confused, entah harus senang, atau marah. "jika kamu menyukaiku, mengapa harus mengeras seperti batu? Mengapa harus meninggalkanku?" hujan benar2 turun, pria ini berlari mengejar Cella yg sudah lebih dulu masuk kerumah. "aku tidak pernah meninggalkanmu, jika hatiku tak mengeras, seberapa kuatnya aku bertahan menahan sakit karna cemburu? aku masuk karena hujan, aku hanya tak mau repot hujan2an karna pembicaraan konyol ini." Gadis ini terus berjalan dgn cepat menjauhi sahabatnya. "hey, baiklah besok kamu akan aku nikahi, berhentilah berjalan cepat, aku minta maaf." cella menghentikan jalannya, "apa nanty kita akan bercerai?" sambil berbalik menghadap sahabatnya, notasi suara yg tadinya tinggi berubah 90° manja, seakan dia menyetujui ajakan pernikahan pria itu. "semua kemungkinan bisa terjadi kan?" jawab cello yg masih tetengah-engah. "kalau begitu aku tidak akan menikah...!" cella kemudian berlari keluar rumah "mamah cello, cella pulang ya.." sapa gadis itu singkat sambil berlalu dan membanting pintu rumah. "huh dasar gadis keras kepala, ternyata dia masih takut akan perceraian" guman Marsello sambil tersenyum. "kalau begitu, kamu harus berusaha lebih keras meyakinkannya, tdak akan pernah ada perrceraian dgn mu" celetuk mamah marcello yg asik membaca majalah diruang tamu. Senyuman terlukis diwajah pria itu "nikah aja belum! mah... mah"...
READ MORE - CERPEN : Gk Suka Perceraian

21 Jul 2013

CERPEN : Cewek Metropolitan???

Matahari sudah tinggi, cahayanya memaksa masuk lewat cela-cela jendela yg ditutup horden berjaring-jaring, motif sarang laba-laba. Gadis ini enggan membuka matanya sejak sekitar dua jam yang lalu alaram berbunyi, tentu saja sudah dimatikan olehnya saat pertama dia berdering. Lampu2 malam Jakarta membuatnya pulang terlalu pagi, dia lupa hari ini adalah hari penting baginya. Hari pertama bekerja di sebuah perusahaan dealer mobil terbesar dijakarta. Masih training, dia belum resmi menjadi kariyawan. Handphone yg sedari tadi bergetar, di abaikannya. Apa yang membuat dia meloncat dari tempat tidurnya? Tiba-tiba gadis ini melototkan matanya dan meloncat dari kasur tempat tidurnya yang hanya digeletakkan begitu saja di lantai kamar kost. Menyambar deodorant, dan kemeja putih yg tergantung rapih di belakang pintu, sudah dipersiapkan sejak kemarin olehnya. Dia tidur bersama rok hitam pendek berbahan katun polister yang belum diganti sejak kemarin dia menjalani psikotes, interview, dan tanda tangan kontrak sebagai anggota training. Kemudian dia pergi makan malam, nonton, dan menghabiskan saat gelap itu di tempat yang mereka sebut diskotik. Bersama pria yang meloloskannya ke pekerjaan itu, nice guy? Entahlah…
60km/jam membuatnya sampai tepat pukul 10.35 sejak keberangkatannya sepuluh menit yang lalu. Tangannya tergesah-gesa membuka permen penyegar mulut dan melahapnya seperti orang rakus. Tentu saja dia tidak mandi dan menyikat gigi, permen itu pikirnya bisa membantunya keluar dari masalah bau mulut. Sambil berlari menuju lift dan memaksa mengangkat dagu melihat layar merah yang bertuliskan angka tepat diatas pintu lift, untuk mengetahui berapa lama lagi dia harus menunggu benda itu menjempunya. Sambil merapihkan rambut, kemudian merapihkan kemeja, dan menyeka-nyeka kelopak matanya dengan kedua tangannya, menyapu pipi. Berharap wajahnya tidak lebam terlihat baru saja bangun. Tak perlu makeup, gadis ini wajahnya masih seperti baby, bahkan urat2 halus berwarna merah dipipi tergambar jelas betapa bening kulitnya.
Lift sudah mengantarnya ke lantai 4, peserta training hanya 2 orang, dia dan pria yang mungkin umurnya dibawah 2 tahun dari padanya, atau memang iya. Wajahnya begitu kekanak-kanakan. “hey, dimana pak Brian?” gadis itu menghampiri pria itu yang duduk rapih didepan ruangan pak Brian. “katanya tadi dia mau ke toilet, sekitar 2 jam yang lalu,” sahut pria itu agak kesal “dia membuat ku menunggu disini sendiri. Perkenalkan, namaku Setio,” sambil mengulurkan tangannya. Gadis ini menatapnya tajam sejenak, seperti familiar wajahnya. Sambil mengatur nafas karena jantungnya yang masih berdetak ketakutan terlambat mengikuti training. “Via, hufttt..” menghela nafas “yang sabar yah,” handphonenya bergetar lagi untuk yang kesekian kali sedari pagi. “sebentar,” ucap gadis itu lagi ingin menjawab telpon. “iya pak, saya sudah diatas.” Kini Setio tau kepada siapa dia harus melampiaskan kesalnya karena telah menunggu lama. Sayang sekali pria ini begitu sangat sabar dan melupakan kekesalannya. Tidak lama setelah itu, pria yang telah berkepala 3 menghampiri, “maaf sudah membuat kalian menunggu lama,” sambil tersenyum. Via membalas senyuman tersebut seakan menyimpan sesuatu yang lucu, tapi tidak dengan Setio yang kekeh dengan wajah badmoodnya.
Waktu kerja terasa cepat, bagaimana tidak? Mereka memulai pekerjaannya setelah jam makan siang. Pak Brian yang tidak berhenti berbicara sedari tadi menjelaskan apa yang harus mereka kerjakan, memberi tahu file-file yang mereka butuhkan, wajahnya kini terpapar rasa senang dengan sedikit senyuman, memiliki sebuah arti yang disembunyikan disetiap tatapannya pada via. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan malam kemarin yang dia habiskan bersama Via, mengunjungi tempat2 wisata dan kuliner malam. Pak Brian meninggalkan mereka, pergi menuju ruangannya untuk bersiap pulang.
“hey, berhentilah cemberut… bukannya kita harus bekerjasama disini? Kalo kamu musuhin aku, siapa yang akan bekerjasama denganku?” senyuman Via menggambarkan permohonan maafnya. “ya, aku memakluminya gadis desa Rashiva Kristi” tidak menanggapi aneh kalau pria ini tau nama dan asalnya, Dia menganggap kalimat itu sebagai kalimat ejekan. Heandphonenya berdering lagi, “aku duluan ya..” berlari meninggalkan meja kerja dan setio. Menghampiri dia yang menunggu gadis jangkung ini untuk membawanya pergi, masih pria yang sama dengan yang kemarin.
**
“Tumben kamu tidak terlambat?!” sapaan pertama dipagi hari, ruang kantor lantai 12a tempat mereka bekerja mulai dipenuhi karyawan, officeboy yang mendorong-dorong meja seperti waiters hotel membawakan kopi dan tea pesanan masing-masing meja karyawan belum juga kelar dibagikan, begitu pula dokumen-dokumen yang masih rapih diatas meja para karyawan. Via menghiraukan “semalam jalan2 kemana? Gk jalan-jalan ya? Langsung tidur?” gadis ini seperti kebal, focus menatap LCD yang baru dinyalakan. WINDOWS – hanya itu yang tergambar bersama buffer computer yang bergulir sangat lambat. “hey… gadis desa” colek Setio di punggung gadis ini yang duduk membelakanginya. “selamat pagi semua…” serentak berdiri para kariawan yang masih bermalas-malasan menghilangkan suntuk dan cerita dalam mimpi2 yang mulai pudar. Sapa manajer yang berperan sebagai pak Brian, pria yang sudah 2 hari ini hangout dengan Via, menghabiskan malam diluar jalan-jalan jakarta dan sebuah alasan lembur yang begitu simple diberikan untuk keluarganya yang berharap dia tidak lagi pulang terlalu malam. “selamat pagi paaaaak…” suara Via paling keras diantara gelombang2 suara yang lain, mengalihkan seluruh kariawan menatapnya. Setio tertunduk malu karena gadis itu berdiri didekatnya, dia merasa ditonton seperti pelaku pencuri. Via tersenyum geli merasa telah membalas pertanyaan2 menyebalkan yang dilontarkan pria itu. “urus saja pekerjaan mu” bisik Via masih dengan senyum kemenangan.
Waktu terasa sangat panjang, udara AC tidak lagi terasa dingin bagi pria ini. Wajahnya kusam penuh minyak disekujur pipi, dagu, hidung dan jidatnya. “Hari kedua ini begitu menyebalkan” gumamnya menoleh meja disampingnya yang tak berpenghuni. Detik dan detak dapat dihitungnya karena berjalan perlahan melenggak-lenggok di kepalanya yang penat. Hingga pukul 16.25 dijalani dengan penuh kesabaran, membongkar2 dokumen yang sebenarnya telah di koreksinya berulang kali. Beberapa kariawan mengganti kesibukukannya merapihkan meja dan isi tas yang berhamburan di meja. Namun pria yang bernama lengkap Setio Arkayudho ini masih tak ingin bergegas. Dia menunggu, menunggu gadis yang disebutnya gadis desa. “dorrr… serius banget” Penantiannya berakhir setelah dikageti Via “kemana ajah? Kerjaan numpuk tuh…” dengan nada ketusnya. “itu hanya copyan? Aku sudah mengerjakannya diruangannya pak brian” jawabnya sambil merapihkan meja. “kerja apa kerjaaa?! Hati2 sama bos-bos Jakarta” pria ini berbicara menatap camas Via yang sibuk tak memperdulikannya. Gadis ini menoleh mengangkat kening dan mengangkat kepala seperti setengah mengangguk seakan memperdulikan kecemasan dan perhatian setio, padahal tidak. Kemudian kembali merapihkan make up dan rambut tebalnya yang terikat, menguraikannya “I’m ready to the party,,, I wanna be metropolitan girl” ledek gadis itu berteriak dengan excitingnya “upsss” dan berlalu meninggalkan setio.
Dua minggu berlalu dengan cepat bagi sii gadis desa. Wajah yang lusuh, bundaran hitam dibawah mata tertutup oleh tebalnya foundation dan taburan bedak. Masih saja pria ini memanggilnya “gadis desa”, membuat gadis itu kesal. Namun Via adalah orang yang dapat mengontol emosinya, diam adalah senjata ampuhnya. Dia beranggapan dengan tidak memperdulikan akan membuat orang-orang yang mengejeknya kesal sendiri. Hanya hela-an nafas panjang yang meringankan ulunya yang sesak karena merasa di rendahkan. Itu bertahan sampai beberapa minggu yang telah berlalu selama mereka bekerja. “Satrio hanya mencari perhatian” batinnya.
Tak – tuk – tak – tuk – suara heels yang asing melangkah menuju meja kerja Via. “kamu Via?” wanita ini membuat ruangan hening. Pakaiannya yang minim menutupi usianya yang mungkin telah beranak 4. Caranya berdiri, membentak, menatap begitu anggun. Sebagian kariawan mengenalnya, mereka yang berbisik-bisik adalah kariawan lama yang sudah mengenal wanita ini. Namun Via, dia sama sekali belum pernah melihat wanita berusia mungkin 40 seperti dia yang berpakaian dan berpenampilan seanggun itu kecuali di TV, sinetron Indonesia atau telenovela yang terdapat di satu chanel tv kabel ketika dikampung. “iya bu,” jawab Via tegas kemudaian berdiri dari tempat dia bersandar, kursi beroda dengan anggunnya perlahan menutupi gugupnya. Via menatap Setio yang malah ikutan berdiri dan terlihat sangat shok. Setio sudah menduga sebelumnya bahwa ini adalah istri pak brian, dia bahkan sangat yakin. Kejadian ini telah diprediksinya sejak dua hari mereka bekerja. Pak brian hampir tiap hari tak langsung pulang kerumah, alasan apa yang membuat istri tak curiga jika hampir dua minggu pulang terlalu malam? Setio seakan kesal, marah, karena harus ada kejadian seperti ini menimpa gadis desa itu. Mungkin karena gadis desa itu tidak pernah mendengar nasehatnya. Seharusnya dia mempertegas siapa yang harus di waspadai, bukan bos prianya melainkan istri-istrinya yang bengis itu.
Wanita itu mengeluarkan amplop tebal, sangat tebal mungkin berisi sejumlah uang yang besar, mampu membayar setahun rumah kontrakan 2 kamar pikir Via. “ambil ini! Berikan kepada temanmu tamara, bilang kepadanya berhenti mendekati Brian, atau kamu saya bikin keluar dari sini” tegasnya. Kemudian berlalu masih dengan nada heels yang melayang-layang mengikuti jarak kakinya melangkah.
“siapa Tamara?” pertanyaan pertama yang dilontarkan Setio, disisi lain dia legah, bukan gadis desa ini yang terlibat langsung dengan wanita itu ataupun pa Brian. Via dengan santai mengambil bungkusan amplop yang dia lempar dimeja begitu saja, seakan tangannya tak mau kotor tersentuh oleh tangan gadis ini. “temen dari tempat yang lo sebut desa,” tersenyum menatap isi amplop kemudia merubah raut wajahnya menjadi super jutek menatap sekeliling kariawan yang masih berbisik-bisik membicarakannya. Mereka seakan segan pada gadis desa yang bahkan belum resmi menjadi karyawan ini, membungkuk dan kembali pada pekerjaan mereka, melupakan yang baru saja terjadi dan yang lainnya tidak menghiraukan kejadian tadi. Mungkin akan menjadikan bahan gosip saat di luar kantor.
“Tamara sahabatmu?” Tanya pria itu lagi penasaran. Via terkejut mendengar pertanyaan itu, bagaimana tidak? Dia tau siapa Tamara itu, “sejak awal, kamu sudah menarik perhatian ku,” ucap gadis itu lantang, wajah yang familiar “ternyata feeling ku benar” mencubit pipi pria itu dengan tenaga kegemasannya sama seperti dulu mereka pacaran. “enam tahun gk ketemu, ternyata kamu lebih nakal yah? Berani bermain api dengan keluarga orang kaya itu” omel brondong 2 tahun itu, mantannya. “ya… kalau tidak begitu bagaimana aku bisa hidup dijakarta?” sahut Via lantang. “itu yang kamu sebut gadis metropolitan?”
READ MORE - CERPEN : Cewek Metropolitan???

13 Jul 2013

CERPEN : Gak Selamanya Dia Musuh

                “Siapa? Ross? Dari sisi mana kamu melihat dia cantik? I called her ‘Bunga Bangke’”
                “What? Orang itu? Entah mimpi apa ibunya melahirkan anak dengan hidung diseluruh wajahnya”.
                Tak ada yang heran lagi jika kedua siswa ini saling ejek-ejekan. “entah nasib sial apa aku dijadikan sekelas terus dengan sipinokio berburuk rupa itu” lebih dari 3x sehari Ross berkata seperti itu, seperti kalimat pokok nan wajib jika mendumel. Mereka berdua memang sedari SMP selalu sekelas, saat SMP mereka bahkan hampir akrab. Hingga suatu ketika Paul berpacaran dengan sahabat Ross ketika menduduki kelas 2 SMP, kemudian membuat sahabatnya menangis selama 3 hari ketika mereka putus. Semenjak itu, bukan hanya perang dingin, Ross dan Paul pernah saling lempar-lemparan kerikil ketika kelas 1 SMA. Perang bacot bahkan akan sangat memanas ketika mereka berada dikelompok yang berbeda untuk memberdebatkan materi presentasi disepanjang mereka menduduki SMA. Mungkin Via sahabat Ross telah melupakan cinta monyetnya dengan Paul dan memutuskan mengambil SMA diluar kota. Namun Ross masih menyalahkan Paul akan hal itu. Setelah lebih dari tiga tahun mereka perang panas, mereka menjadikan hal apapun sebagai sebuah masalah. Jika ditanyakan kepada Ross awal mula terjadinya kebencian dihatinya, dia akan berkata “aku lupa” sambil mengangkat bahu dan berpikir keras. Itu terlihat dikerutan dahinya yang begitu mengkerut. Sedangkan Paul “mmm… aku dan bunga bangke itu memang tidak cocok.” “sejak kapan?” “Sejak lahir!!” dengan nada yang tinggi.
                “Ok kelas tambahan sepulang sekolah, yang artinya aku harus lebih lama bersama pinokio berburuk rupa itu!” “it’s never ever ever happened!!” teriak Paul menyambung dumelan Ross. Namun kemudian mereka menjalani setahun ajaran terakhir dengan success tanpa ada adu bacot.
                “nah begitu… jadilah siswa teladan disekolah ini, kalian berdua harus akur, kan kalian juara umum disekolah, jangan diancam dulu baru mau akur” ujar Kepala Sekolah yang menceramahi mereka didepan seluruh siswa saat pidato perpisahan kelas 3 dipanggung pensi. Meskipun begitu, mereka masih saja saling menatap sinis, tak ada perang panas, perang dingin pun terjadi.
**
                Dua bulan terakhir setelah UN, tentu saja mereka disibukkan oleh urusan surat ini dan itu untuk melengkapi pendaftaran Universitas. Sekolah SMA yang mereka rindukan, bangku-bangku kayu usang penuh coretan Tip-X, dan hiasan spidol menghiasi dinding belakang sekolan, dinding-dinding kantin dan toilet. Ross berjalan perlahan melewati kelas terakhir yang dia tempati seusai mengurus cap-cap untuk surat KHUN. Ram-ram berdebu menembus bayang-bayang didalam kelas, seorang pria sambil menggoyangkan kedua kakinya, “Hey ngapain kamu disini” meloncat turun dari atas meja “ngurusin surat-suratlah, sama kayak kamu” jawab Ross masih ketus. “kamu ngerasain apa yang aku rasain gk sih?” Paul datang menghampiri Ross. “apaa?” ‘entah apa yang teradi pada jantungku, tiba-tiba berdetak begitu kencang’ gumam Ross dalam batin. “akuuu.. kurasa aku merindukan kelas ini” ucap Paul sambil berlalu meninggalkan Ross. ‘ya Tuhan.. aku gugup’ batin si pinokio berburuk rupa, dengan wajah penuh penyesalan yang enggan memalingkan wajahnya kebelakang.
                “aku bahkan merindukan kita” tertunduk gadis itu membenci kedua pikiran sama yang menurutnya berbeda.
“hufttt.. merindukan kelas katanya? Bodoh!!!” Ross berlalu kearah yang berbeda.
“Tuhan, bukan itu yang ingin aku katakana! Aku merindukan Ross!” Paul masih menggerutu.
**
“ya Ampun tidak adakah yang mau membantuku membawa koper-koper ini keatas??” Ross menatap rumah koss yang bertumpuk tinggi menjulang kelangit, “lebih mirip rumah susun,” dumelnya lagi. Seseorang menyambar salah satu koper dari genggamannya, dengan reflex Ross yang cepat menatap sosok itu. “sini aku bantu” Paul berlalu dengan koper Ross dan segandeng tas miliknya yang isinya mungkin hanya beberapa helai pakaian dan minyak wangi yang tak dipungkiri adalah axe biru aroma yang selalu menempel ditubuhnya sejak SMP.
“Kamu ngekos disini?” pertanyaan yang ingin sekali dilontarkan Ross, sayangnya kalimat itu masih tersedak ditenggorokannya. “kamar berapa?” Tanya Paul yang berjalan 10 meter didepan Ross, sangat mirip pelayan hotel berseragam yang sedang membawakan tas. Paul hanya tak ingin Ross tau betapa gugupnya dia bisa membantu gadis ini. “506”.
“Ya, kita sampai”. “udah sampe disini aja, makasih ya?!” Ross melontarkan senyumnya yang very famous sweet di SMA dulu. “kamarku disitu, 504.” Sambil menggaruk kepala, suara grasak-grusuk pintu kamar 505 seperti akan membuka pintu mengalihkan pandangan Ross dan Paul, wajah yang tak asing. “Ross??” “Via?? aaaaarrrggghhhh” mereka saling berpelukan. Tidak melupakan Paul, via mengerutkan alisnya menduga-duga pria yang ada dihadapannya. “Paul?? Kalian berdua…?” dengan tatapan curiga via. “enggaaaak” Ross tiba-tiba berteriak menghentikan pikiran via mengenai kedekatan mereka. Mimic wajah Paul berubah “Ya Tuhan, seharusnya aku tidak berkata begitu, tapi yasudahlah toh dia juga tidak terlihat menyukaiku” isi hati Ross penuh dengan penyesalan, dan pula banyak pertanyaan “lalu mengapa dia tampak sedih setelah aku…”
“Hey Ross ayo beres-beres kamar kamu, aku bantuin bengong aja sih hahaha” via membangunkan Ross yang hanya terpaku didepan kamar memikirkan pinokionya.
**
“kini aku ingat penyebab dari perang aku dan Ross selama ini.”
“knok – knok – knok…” Paul yang sedari tadi tak beraktivitas hanya berbaring memikirkan bunganya kini beranjak bangun membuka pintu.
“hai Paul, lagi apa?” via mencoba melirik kedalam kamar pada cela-cela kosong yang tertutup badan Paul. “gk lagi ngapa-ngapin.” “aku boleh masuk gk kekamar?” “gk boleh..” “ih boleh dong…” beberapa menit mereka berdebat didepan, yang terdengar hingga kamar Ross dan membuat bunga bangkai ingin mengintip keluar. Sepertinya suara pintu tak bersahabat dengannya, membuat Paul dan via berhenti berdebat dan malah memperhatikan Ross yang mengintip disela pintu. Via menghampiri Ross dengan wajah cemberutnya “Ross, Paul gak ngijinin aku masuk kekamarnya… huhuhuhu…” rengek gadis pirang itu. “Viaaa…! Lagi ngapain coba masuk kekamar cowok? Centil banget sih?!!!” bentak Ross kesal. Ross meninggalkan via dengan membanting pintu kamar, itu malah membuat Paul cekikikan.
“Paul ini semua salahmu!!!” via masuk kekamarnya membawa serta kekesalanya.
“knok – knok – knok…”
“siapa?” teriak gadis bunga bangkai dari dalam kamar.
“Paul.” Ross langsung menyambar gagang pintu dengan semangatnya!
“hai…” Paul menyapa dengan mengangkat tangan kekanannya. Ross malah diam dan menatap mata sipinokio berburuk rupa itu.
“lagi ngapain?” Ross menggelengkan kepalanya, mengartikan dia hanya sedang memikirkan Paul ‘namun aku rasa Paul tidak mengerti’ malah mengartikan gelengan kepala itu sebagai tanda tidak ada aktivitas penting kecuali bernafas. Ross menatap Paul dari ujung rambut hingga ujung sepatu yang sangat terlihat betapa salting(salah tingkah)nya sipinokio ini. Ross pun tak kalah gugupnya dengan Paul.
“kalo kamu?” akhirnya Ross membuka suara. Paul membalas gelengan kepala Ross yang tadi.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?”
“I don’t think so… apa?” kali ini Ross tidak ingin kecewa dengan harapan ‘sama’ dalam pikirannya. Dan Paul tidak ingin membuat Ross kecewa.
“aku rasa aku merindukan kita” diikuti dengan sebuah garukan kepala! Ross membius Paul dengan jawaban sebuah senyuman yang terkenal manis itu.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?” Ross membalikkan pertanyaan sii pinokio itu.

“we one step closer?!!” jawab Paul sambil tersenyum ;)
READ MORE - CERPEN : Gak Selamanya Dia Musuh

CERPEN : Jeremi Yang Lain

Aku bukan gadis yang luwes, have a good many friends. So many people knows me, but thers not talk to me. Mungkin karena aku kurang memiliki waktu nongkrong dengan mereka. Aku lebih senang membaca novel atau pulang dan tidur saja dirumah jika waktu sekolah usai, atau untuk mengisi waktu luang. Membahas masalah pribadi atau menceritakannya kepada oranglain, menggosipi atau mengudge orang bukanlah tipeku. Betapa pintarnya aku menjaga ucapanku, bahkan untuk menjaga perasaanku kepada Mr.J pun akulah ahlinya. Nice guy, cute faces adalah criteria Mr.J.
Untuk yang pertama kalinya Mr.J ini membuatku simpati, ketika kami berada dibangku kelas 2 SMA. Dia mempresentasikan tentang pencernaan sapi didepan kelas dengan bahasa baku yang indah. Dia tidak sedang berpuisi atau membaca syair, namun nada suaranya sungguh melodis dan membuatku tercengang, aku terpesona padanya.
Setahun berlalu, ini adalah anniversary setahun aku menyukainya. Aku melingkari kalender yang tertata diatas meja belajarku dengan stabilo bertinta pink, warna kesukaanku. Yang harus kalian tau, aku bukan hanya pintar menjaga rahasia, dan perasaanku, tapi aku pintar menjaga pandanganku. Tentunya agar Mr. J tidak tau betapa nyata cinta yang terpampang dari mataku ketika menatapnya.
Dikelas 3 SMA ini kami focus untuk menghadapi ujian Negara. Keuntunganku, kami mendapat kelas tambahan 3 jam sepulang sekolah. Itu artinya I have plus time with him. Namun tetap saja, aku tak berani memulai untuk mendekatinya.
“Janet, nnty malam ada party birthday dirumah Jeremi, kamu dateng gk?” ana gadis sebangku denganku, gadis yang powerfull dan penuh energik. Seluruh teman sekelas bahkan guru mengatakan aku dan ana sangat cocok untuk saling mengisi. Dia adalah satu2nya gadis yang sering curhat seluruh masalah pribadinya padaku. Bahkan cerita first date-nya dengan Jeremi, Mr. J ku. “Jeremi terlalu kekanak-kanakan net, waktu kita hangout ke mall kemarin, dia ninggalin aku ditempat makan dan malah asik main di funworld”. Tiga jam sudah aku mendengarnya bercerita tanpa berkedip, aku tak ingin melewatkan satu katapun cerita tentang Jeremi.
**
“Janet, kamu mau gk jadi pacarku?” entah sudah berapa pria yang melontarkan kalimat itu. Entah berapa puluh novel yang diberikan mereka pada saat valentine musim kemarin. Bahkan “Stupid and Contagious” karya Caprice Crane tertumpuk tiga sekaligus yang diberikan tiga pria yang berbeda. Aku telah memikirkan untuk menjualnya kemana atau menyumbangkannya saja. Sayang sekali tak satupun bingkisan atau kartu yg tercantum nama Jeremi, “dan sayangnya lagi tak satupun pria yang mampu mengalihkan bayangan Jeremi dimata hati ini,” dengan telunjuk menunjuk dada.
**
“Janet, kamu datang juga?”, “Baru kali ini liat Janet pake gaun mini gitu” seru para undangan yang mayoritas teman sekelas. Aku bahkan menghabiskan waktu tiga jam dandan hanya untuk tampil istimewa di pesta Jeremi.
“siapa gadis itu? Gadis yang dirangkul Jeremi?” pandanganku berhasil dialihkankan dari hidangan pesta. Aku menjalani dua jam party dengan penuh senyuman, senyuman kehancuran adalah kalimat yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku. “namun yang kalian ketahui, keahlianku adalah memendam perasaan.” Sepanjang pesta berlangsung, Jeremi dan gadis itu bagaikan perangko dan amplop, “menempel!!!” aku pulang dengan perasaan cemburu, kini aku belajar bagaimana rasa itu dan belajar menyimpannya.
Meskipun terlihat Mr.J telah berpacaran, tetap saja hatiku bertahan ingin memilikinya, hingga masa SMA berakhir, dan aku masih melingkari tanggal yang sama pada kalender yang berbeda. Anniversary 2th aku menyukai Mr.J, dan dia tak pernah tau perasaanku. Seluruh mantan siswa terlihat sibuk mengurus surat ini itu untuk mendaftar di Universitas.
“Janet, kamu tau gk kalo Jeremi akan menikah bulan depan? Aku sudah mendapatkan undangannya” aku terpaku bisu menatap Ana yang mengobok-obok isi perut tasnya yang mungkin isinya satu set makeup dengan merk yang berbeda-beda. Sebuah undangan hijau digenggamnya keluar dari tas seharga 45rb, sebuah tas lukis berbahan semi jinz yang sedang trand di sekolahan. Dengan tergesa-gesa, aku merampasnya “hey slow down Janet,” aku mengalihkan pandanganku pada undangan itu dan membukanya “katanya sih hamil”. “Benar” hanya itu yang keluar dari mulutku setelah melihat isi kertas hijau. Air mata yang tak terbendung sudah pasti, dan jangan lupa dengan ulu-ku yang tercabik-cabik. “Janet kamu kenpp…” belum selesai Ana berbicara “Aku gk percaya naaa… Jeremi pria yang aku suka sejak kelas 2 SMA dia pria yang mampu membuat jantungku berhenti berdetak ketika aku cemburu, dan berdebar kencang ketika dia menatapku, kamu tau alasanku menolak pria2 itu? DIA!!” Ana tercengang menatapku, entah apa yang dia pikirkan hingga membuatnya membisu. Aku terisak menangis selama 2 jam untuk merelakan waktu 2 tahunku menyukainya, dan selama itu ana diam menatapku.

Dia terlihat ingin bicara, namun dia kembali menutup mulutnya melihat aku masih terisak “hey,hey yang terpenting sekarang, kamu sudah bisa terbuka, masalah Jeremi, jangan lagi kamu pikirkan, nanti kita cari Jeremi yang lain di Universitas.” “Jeremi yang lain?” kalimat itu membuatku tersenyum, dan membuat ana terbahak. Mungkin dia tidak menyangka hanya dengan kalimat itu bisa membuatku tersenyum.
READ MORE - CERPEN : Jeremi Yang Lain