Sejak dulu aku berada
dalam lingkungan yang memiliki bahasa yang unik. Tentu saja bahasa Indonesia,
tapi bukan bahasa Indonesia yang baku. Kalian bahkan tahu bukan, kalo di Negara
kita yang tercinta ini memiliki banyak bahasa di setiap daerah-daerahnya
masing-masing. Tapi sampai sekarang aku masih sangat bingung untuk
mengungkapkan, mengucapkan, menamai, atau whatever.. sebuh benda yang kecil
yang sering di gunakan, mmm mungkin jarang juga sih.. yang pastinya ini sangat
membuatku berpikir seperti memikirkan sebuah rumus resultan gaya dengan jumlah vektor dari
semua gaya yang bekerja pada benda bernilai nol, maka kecepatan benda
tersebut konstan. Entahlah.. yang pastinya aku berusaha keras setiap
memikirkannya.
Ini berawal dari lokasi
tempat tinggalku, kota kecil yang terletak di Sulawesi Utara yaitu Amurang,
berjarak ±60km dari Manado. Aku masih berada di kelas 1SD. Dalam kelas yang
ricuh tanpa guru aku sedang menulis sebuah tugas ejahan “Ini Budi, itu Budi”
yah, dan sebagainya, aku mengingatnya seperti kejadian itu masih kemarin. Disana aku masih terlihat sangat asik
dengan tulisanku itu. Saat
itu aku masih menggunakan pensil, dan pensilku patah. Yang pastinya saat itu
aku tidak membawa benda aneh yang aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Yang
aku ingat saat itu aku memanggil temanku yang sedang asik bermain dengan teman
sebangkunya untuk meminjam benda itu. “apa?” katanya sambil menatapku. Aku
hanya membuat isyarat dengan tanganku, dia langsung menanggapinya dan
meminjamkan seraya berkata “oh, bor-bor”
semenjak itu lah aku tahu bahwa banda itu bernama bor-bor.
Nama bor-bor itu terbawa
hingga aku memasuki lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari SD, yaitu SMP.
Disana saat mengerjakan sebuah pekerjaan matematika aku memerlukan bor-bor
untuk menajamkan pensilku. Dengan pedenya aku berkata pada teman sekelasku “hey
pinjam bor-bor” diiringi dengan tersenyum tanpa dosa. Entah apa yang dia
pikirkan sambil menatapku kira-kira sekitar 5 detik, kemudian berkedip sekali.
“bor-bor? Apa itu” tanyanya sambil menatapku penasaran. Aku menunjukan pensilku
yang patah. Aku menatapnya dengan sangat gugup karena terlihat dia sedang
menahan tawanya untukku. Mungkin dia sedang membungkusnya untukku bawa pulang.
Yang pastinya aku tidak akan menyukai situasi ini “oh Parutaaan” dan meledaklah
tawanya sambil membongkar isi tempat pensilnya. Selama SMP aku menyesuaikan
diri dengan menyebutnya parutan. Setelah terbiasa, itu terbawa hingga SMA.
Betapa bruntungnya aku, ternyata disini mereka menyebut benda itu dengan
sebutan parutan, sehingga aku tidak perlu beradaptasi dan harus membawa pulang
sekantong tawa yang berisi malu.
Selanjutnya, aku merantau ke Jakarta untuk
memasuki lembaga Universitas. Kalian pasti sudah menebaknya, “apa parutan??”
sambil menatapku menahan tawanya. “mmm, bor-bor.” Kataku sambil berpikir dan
menatapnya bego’. Meledaklah tawa teman sekelasku. Seperti biasa yang aku
lakukan sejak memasuki lembaga pendidikan, melakukan isyarat. “oh.. Serutaann,
kalo parutan itu untuk kelapa putriii”. OMG, I don’t know. But I realyrealy
confuse. Mereka memberikanku alasan yang logis untuk kata serutan. Entah apa yang
harus aku katakan mengenai “bor-bor, parutan atau, serutan, rautan” aku yakin, kalian juga punya nama lainnya untuk benda yang aneh itu!!