Langit2
rumah ini tak memilik 1 warna. Tidak kompak mengindahkan mata yang memandang,
mungkin karena telah berabat2 dia disana, terendam hujan dan binatang yg
sembarangan mengompol. Aku memandang sekeliling rumah seorang ibu setengah
baya, kemudian masuk kedalam kehdupannya. "Bagaimana bisa dia mengadopsi
ku? Sedangkan rumahnya saja sangat tidak layak di tempati" gumam ku dalam
ketakutan.
Rumah
ini gelap, lantainya berubin kuning dengan beberapa tambal semen menutupi
bolong bolong pijakan kaki, sungguh menyedihkan. Dia bahkan tak memiliki
pemanas air, hanya neon kuning 15watt dan ricecoocerlah barang elektronik
dirumah ini. Umurku 8tahun saat itu. "Apa dia ibu kandungku? Bukankah yg
layak mengadopsi adalah dia yg berkelebihan menghidupi dirinya?" gumamku
lagi. Hanya sebuah kotak persegi rumah ini, tak ada depan dan belakang. Dua
kamar berhadapan dan satu kamar mandi kita gunakan bersama. Dapur kecil itu
akan menjadi tempatku memasak nanti "wah ada taman kecil dibelakang
rumah" gumamku. aku berpikir untuk menamam seledri, dan lidah buaya.
Dia
pasti tak butuh surat adopsi jika aku anak dari rahimnya, itu tergantung rapih
dalam bingkai foto di kamarku, "apakah dia melakukannya agar aku tak
kasihan setiap menyuntiknya?" Itu masih sebuah pertnyaan yg mendugaduga. Ibu
tua ini begitu sakit, aku diajarkan untuk menyuntik insulin dua kali shari
setiap jam 3 sore dan jam 5 dinihari setelah subuh kujalani. pembicaraan begitu
terbatas, dia paling sering berkata dan selalu mengucapkan "bersabarlah
little girl." Dia tak pernah menceritakan suami, atau anak. Tentusaja dia
tidak punya anak makanya mengadopsi. Hingga aku merasa berumur 18 tahun. Hanya
merasa karena aku tk pernah menghitungnya, mungkin aku lupa kapan hari
ulantahunku. Aku menceritakan bahwa aku senang mendapat sebuah sertifikat
bertuliskan "Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional & ijazah SMA"
ibu itu mampu membayar homescholling yang ku jalani selama ini
"bernyanyilah little girl untuk merayakan kelulusanmu" jawabnya. Dia
sangat senang mendengarku bernyanyi, aku akan bernyanyi setap pagi jam 6 dan
sore jam 4 ketika mandi, sometimes jika sedang memasak, aku akan bernyanyi.
"Kalian pasti bertanya dari mana aku bisa mengenal musik jika aku
terkurung dirumah tanpa Tv dan radio?" Guru homescholling lah yg mengenalinya,
itulah caranya mengajariku bahasa inggris. Kami tumbuh bersama. Selain ibu,
merekalah orang yg aku kenal, "owh iya, aku tidak akan melupakan tukang
sayur yg tiap hari mengantarkan bahan2 masakan kerumah kotak ini".
Aku
sudah menyayangi ibu ini, meskipun dia tak banyak memberi perhatian
layaknya ibu yg diharapkan anak2 panti lain ketika di adopsi. Tapi dia
membuatku merasa cukup. Aku mengurusnya dgn spenuh tenagaku meski aku harus
memandikan atau mengganti popoknya. Sepuluh tahun sudah aku terjebak disini, ditemani
rutinitas bersama tembok2 bercat usang, sunyi. Terkadang aku ingat keramaian di
panti asuhan, teriakan anak2 mengajakku bermain "syahlaaaaa" suara
kaki mungil yg tak henti berlarian menghiasi hari2. Ingatan itu selalu
bergentayangan, seperti baru terjadi kemarin setiap aku menatap bingkai yg
usang tergantung didinding dengan paku yg berkarat, "hey 10tahun lalu itu
belum berkarat" aku memperhatikan tanggal hari pertama aku dipungut. Yaitu
hari ini. Aku sangat bersemangat menuju kamar, menghampiri ibu yg sudah siang
tak kunjung keluar dari kamar. "ibu, syahla bisa masuk?" tak ada
jawaban, hening. Aku menuju dapur dengan harapan ibu baik2 saja di dalam.
"Mungkin dia sedang melamun seperti hari2 sebelumnya" semakin tua,
semakin kurus, semakin jarang bicara, semakin banyak melamun.
Aku
mondar mandir didalam rumah yg kecil ini, khawatir akan ibu yg tak kunjung
keluar dari kamar, ini waktunya suntik insulin, sekali lagi aku mencoba
mengetok2 pintu. "Ibu... Ibu.." Entah berapa lama aku memanggil
kalimat itu hingga air mata ini tak terbendung. Aku sama sekali tidak pernah
mendobrak pintu, aku takut dianggap tak sopan, dan hal itu membuatku malu.
"Syahla...
tok tok tok" aku loncat secepat kilat dari depan kamar, mengusap air mata
yg kemudian mulai berhernti mengalir. "Kamu kenapa?" salah satu guru
homeschooling ku dtg ingin mengajar. Ini hari selasa waktunya untuk biologi.
Mem Rhisa yg mengajarkan Bahasa Prancis dan Biologi. "ibuuuuu..."
kataku takut, kemudian kembali lagi aku menangis. Wanita ini langsung berlari
menuju kamar, mendobrak. Jantungku seperti terpukul, seiring dgn rasa sakit
pintu yg didobrak badan wanita itu, bersikeras merusak pintu.
"Mamaaaaah" teriak wanita itu gemetar dan tangis yg membanjiri
wajahnya...
***
Aku
tak henti2nya membaca Alquran, menghatamkan untuk kepergian ibu. Bersama 3 guru
homescholing di rumah yg begitu besar, atap yg indah, bohlam2 yg terang, ubin
granat yg besar, dan banyak kamarnya. Aku mendapat tumpangan dikamar depan,
kamar tamu katanya "biar syahla tidur di kamar tamu" ucap mem inggrit
yg mengajar fisika, kimia, dan bahasa indonesia. Dia begitu anggun nan menawan,
anak tertua mungkin. Orang2 berdatangan dan berlalu, memberi belasungkawa, yg
lain membantu menghatamkan Alquran.
Hari
ke empat stelah kematian ibu, aku diajak kesebuah ruangan keluarga, bersama
pria berdasi rapih membawa beberapa dokumen yg ditentengnya oleh tangan sebelah
kiri, tentu saja dia bukan salah satu anak ibu dan bukan salah satu orang yg
ada di album keluarga atau foto keluarga raksaaa yg tergantung disetiap sisi
ruangan, dengan bingkai raksasa juga. Sepertinya dia akan berbicara
"ekhem.. surat warisan," matanya beralih menatapku "harta yang
dmiliki ibu maya sarawati adalah bakery store, cave hardbakery, rumah ini
senilai 8M dan rumah kotak senilai 200jt," dia kembali mengeluarkan dahak
"ekhem" kemudian menatap sekeliling, aku juga menatap satu persatu
guru homeschoolingku, menatap canggung "aku hanya belum terbiasa"
batinku sambil mengambil nafas panjang dan membuangnya perlahan. Aku pecaya itu
mampu menghilangkan gugup. Ser Billi tersenyum, seakan ingin menghilangkan
kekhawatiranku. Seakan kita sedang bernyayi "we'll be alright"
bersama di sini, menunjuk dada. Yaaa.. Seperti saat sebelumnya, seperti setiap
hari jumat dia datang mengajarkanku bahasa inggris atau hari sabtu untuk
pelajaran matematika dan sejarah. Kadang kami gunakan untuk bernyanyi dan
mendengarkan cerita film2 yg baru saja dia tonton, kedengarannya seru dari pada
harus mendengarkan cerita terbentuknya monumen nasional, Organisasi VOC ASEAN,
peperangan diindonesia.
"Bakery
store di pimpin oleh Ingrit, cave hardbakery oleh Rhisa, rumah senilai 8M oleh
Billy dan rumah kotak untuk Syahla" pria itu melanjutkan. Aku masih syok
untuk tau ternyata smua guru homeschoolingku adalah anak ibu, bahkan aku baru
tau ibu bernama Maya, sekarang pria itu membuatku tambah kepayangan.
***
Hari2
berlalu, aku kembali kerumah kotak diantar oleh Ser Billy, pria yang tumbuh
bersamaku. Mungkin dia berumur 26th, "Hey, punya planing untuk tinggal
bersamaku dirumah seberang saja?" Pria ini memang selalu mengalihkan
perhatianku. Dari cara bicaranya, dan caranya menceritakan sesuatu sangat cocok
untuk menjadi sejarawan.
"Aku
menyayangimu ser" sayangnya kalimat itu tak dapat ku katakan, tersangkut
di tenggorokanku. Aku menggelengkan kepala. "Kalau begitu aku akan tinggal
disini," Dia menatapku tajam, seakan serius akan ucapannya. Aku gugup,
jantungku berhenti berdetak, kalimat itu seakan menjadi pembicaraan yang
canggung. Aku tak begitu pandai berbicara, mungkin hatiku telah bisu, mungkin
terbiasa diam melenyapkan harapan, menghancurkan mimpi. Aku masih terbiasa
dengan jam 3, ada aktivitas disana, memegang suntik, kapas, alkohol, dan
insulin. Mungkin ini caraku melenyapkan pembicaraan tadu. Aku terbiasa
bernyanyi, menandakan aku masih bernafas. "Sekarang, aku akan mengubah
kebiasaan itu" katanya, mengambil ibat-obatan itu dari tanganku dan
mengepack semua perlengkapan ibu untuk dibuang "maukah kau membantuku
membuang kenangan? dan membentuk kebiasaan baru bersamaku?" aku hanya
mengangguk, itu cukup. "Apa aku sudah menjadi anak yg baik untuk
ibu?" Akhirnya aku bicara. Kurasa kalimat itu mengalihkan pandangannya
"Kamu sudah berikan yang terbaik untuk Ibu, sekarang belajarlah menjadi
istri yang baik". Aku ingat dulu ketika aku menerima ijazah SD dia berkata
hal yang mirip dengan itu "kamu harus berikan yg terbaik untuk ibu, dan
belajar menjadi pacarku yg baik" menggenggam tanganku yg masih mungil
kemudian menciumnya. Satu kalimat itu melenyapkan kesedihanku, dan menyelimutinya
dengan harapan masadepan yg cerah, dengan lukisan senyuman.
"Besok
kamu akan ku ajak melihat dunia" katanya, mengakhiri cerita kesunyian.