“Siapa? Ross? Dari sisi mana kamu melihat dia
cantik? I called her ‘Bunga Bangke’”
“What? Orang itu? Entah mimpi
apa ibunya melahirkan anak dengan hidung diseluruh wajahnya”.
Tak ada yang heran lagi jika
kedua siswa ini saling ejek-ejekan. “entah nasib sial apa aku dijadikan sekelas
terus dengan sipinokio berburuk rupa itu” lebih dari 3x sehari Ross berkata
seperti itu, seperti kalimat pokok nan wajib jika mendumel. Mereka berdua
memang sedari SMP selalu sekelas, saat SMP mereka bahkan hampir akrab. Hingga
suatu ketika Paul berpacaran dengan sahabat Ross ketika menduduki kelas 2 SMP,
kemudian membuat sahabatnya menangis selama 3 hari ketika mereka putus. Semenjak
itu, bukan hanya perang dingin, Ross dan Paul pernah saling lempar-lemparan
kerikil ketika kelas 1 SMA. Perang bacot bahkan akan sangat memanas ketika
mereka berada dikelompok yang berbeda untuk memberdebatkan materi presentasi
disepanjang mereka menduduki SMA. Mungkin Via sahabat Ross telah melupakan
cinta monyetnya dengan Paul dan memutuskan mengambil SMA diluar kota. Namun Ross
masih menyalahkan Paul akan hal itu. Setelah lebih dari tiga tahun mereka
perang panas, mereka menjadikan hal apapun sebagai sebuah masalah. Jika ditanyakan
kepada Ross awal mula terjadinya kebencian dihatinya, dia akan berkata “aku
lupa” sambil mengangkat bahu dan berpikir keras. Itu terlihat dikerutan dahinya
yang begitu mengkerut. Sedangkan Paul “mmm… aku dan bunga bangke itu memang
tidak cocok.” “sejak kapan?” “Sejak lahir!!” dengan nada yang tinggi.
“Ok kelas tambahan sepulang
sekolah, yang artinya aku harus lebih lama bersama pinokio berburuk rupa itu!” “it’s
never ever ever happened!!” teriak Paul menyambung dumelan Ross. Namun kemudian
mereka menjalani setahun ajaran terakhir dengan success tanpa ada adu bacot.
“nah begitu… jadilah siswa
teladan disekolah ini, kalian berdua harus akur, kan kalian juara umum
disekolah, jangan diancam dulu baru mau akur” ujar Kepala Sekolah yang
menceramahi mereka didepan seluruh siswa saat pidato perpisahan kelas 3
dipanggung pensi. Meskipun begitu, mereka masih saja saling menatap sinis, tak
ada perang panas, perang dingin pun terjadi.
**
Dua bulan terakhir setelah UN,
tentu saja mereka disibukkan oleh urusan surat ini dan itu untuk melengkapi
pendaftaran Universitas. Sekolah SMA yang mereka rindukan, bangku-bangku kayu usang
penuh coretan Tip-X, dan hiasan spidol menghiasi dinding belakang sekolan,
dinding-dinding kantin dan toilet. Ross berjalan perlahan melewati kelas
terakhir yang dia tempati seusai mengurus cap-cap untuk surat KHUN. Ram-ram
berdebu menembus bayang-bayang didalam kelas, seorang pria sambil menggoyangkan
kedua kakinya, “Hey ngapain kamu disini” meloncat turun dari atas meja “ngurusin
surat-suratlah, sama kayak kamu” jawab Ross masih ketus. “kamu ngerasain apa
yang aku rasain gk sih?” Paul datang menghampiri Ross. “apaa?” ‘entah apa yang
teradi pada jantungku, tiba-tiba berdetak begitu kencang’ gumam Ross dalam
batin. “akuuu.. kurasa aku merindukan kelas ini” ucap Paul sambil berlalu
meninggalkan Ross. ‘ya Tuhan.. aku gugup’ batin si pinokio berburuk rupa, dengan
wajah penuh penyesalan yang enggan memalingkan wajahnya kebelakang.
“aku bahkan merindukan kita”
tertunduk gadis itu membenci kedua pikiran sama yang menurutnya berbeda.
“hufttt.. merindukan kelas katanya? Bodoh!!!”
Ross berlalu kearah yang berbeda.
“Tuhan, bukan itu yang ingin aku katakana! Aku
merindukan Ross!” Paul masih menggerutu.
**
“ya Ampun tidak adakah yang mau membantuku
membawa koper-koper ini keatas??” Ross menatap rumah koss yang bertumpuk tinggi
menjulang kelangit, “lebih mirip rumah susun,” dumelnya lagi. Seseorang menyambar
salah satu koper dari genggamannya, dengan reflex Ross yang cepat menatap sosok
itu. “sini aku bantu” Paul berlalu dengan koper Ross dan segandeng tas miliknya
yang isinya mungkin hanya beberapa helai pakaian dan minyak wangi yang tak
dipungkiri adalah axe biru aroma yang selalu menempel ditubuhnya sejak SMP.
“Kamu ngekos disini?” pertanyaan yang ingin
sekali dilontarkan Ross, sayangnya kalimat itu masih tersedak ditenggorokannya.
“kamar berapa?” Tanya Paul yang berjalan 10 meter didepan Ross, sangat mirip
pelayan hotel berseragam yang sedang membawakan tas. Paul hanya tak ingin Ross
tau betapa gugupnya dia bisa membantu gadis ini. “506”.
“Ya, kita sampai”. “udah sampe disini aja,
makasih ya?!” Ross melontarkan senyumnya yang very famous sweet di SMA dulu. “kamarku
disitu, 504.” Sambil menggaruk kepala, suara grasak-grusuk pintu kamar 505
seperti akan membuka pintu mengalihkan pandangan Ross dan Paul, wajah yang tak asing.
“Ross??” “Via?? aaaaarrrggghhhh” mereka saling berpelukan. Tidak melupakan Paul,
via mengerutkan alisnya menduga-duga pria yang ada dihadapannya. “Paul?? Kalian
berdua…?” dengan tatapan curiga via. “enggaaaak” Ross tiba-tiba berteriak
menghentikan pikiran via mengenai kedekatan mereka. Mimic wajah Paul berubah “Ya
Tuhan, seharusnya aku tidak berkata begitu, tapi yasudahlah toh dia juga tidak
terlihat menyukaiku” isi hati Ross penuh dengan penyesalan, dan pula banyak
pertanyaan “lalu mengapa dia tampak sedih setelah aku…”
“Hey Ross ayo beres-beres kamar kamu, aku
bantuin bengong aja sih hahaha” via membangunkan Ross yang hanya terpaku
didepan kamar memikirkan pinokionya.
**
“kini aku ingat penyebab dari perang aku dan Ross
selama ini.”
“knok – knok – knok…” Paul yang sedari tadi
tak beraktivitas hanya berbaring memikirkan bunganya kini beranjak bangun
membuka pintu.
“hai Paul, lagi apa?” via mencoba melirik
kedalam kamar pada cela-cela kosong yang tertutup badan Paul. “gk lagi
ngapa-ngapin.” “aku boleh masuk gk kekamar?” “gk boleh..” “ih boleh dong…”
beberapa menit mereka berdebat didepan, yang terdengar hingga kamar Ross dan
membuat bunga bangkai ingin mengintip keluar. Sepertinya suara pintu tak
bersahabat dengannya, membuat Paul dan via berhenti berdebat dan malah
memperhatikan Ross yang mengintip disela pintu. Via menghampiri Ross dengan
wajah cemberutnya “Ross, Paul gak ngijinin aku masuk kekamarnya… huhuhuhu…”
rengek gadis pirang itu. “Viaaa…! Lagi ngapain coba masuk kekamar cowok? Centil
banget sih?!!!” bentak Ross kesal. Ross meninggalkan via dengan membanting
pintu kamar, itu malah membuat Paul cekikikan.
“Paul ini semua salahmu!!!” via masuk
kekamarnya membawa serta kekesalanya.
“knok – knok – knok…”
“siapa?” teriak gadis bunga bangkai dari
dalam kamar.
“Paul.” Ross langsung menyambar gagang pintu
dengan semangatnya!
“hai…” Paul menyapa dengan mengangkat tangan
kekanannya. Ross malah diam dan menatap mata sipinokio berburuk rupa itu.
“lagi ngapain?” Ross menggelengkan kepalanya,
mengartikan dia hanya sedang memikirkan Paul ‘namun aku rasa Paul tidak
mengerti’ malah mengartikan gelengan kepala itu sebagai tanda tidak ada
aktivitas penting kecuali bernafas. Ross menatap Paul dari ujung rambut hingga
ujung sepatu yang sangat terlihat betapa salting(salah tingkah)nya sipinokio
ini. Ross pun tak kalah gugupnya dengan Paul.
“kalo kamu?” akhirnya Ross membuka suara. Paul
membalas gelengan kepala Ross yang tadi.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?”
“I don’t think so… apa?” kali ini Ross tidak
ingin kecewa dengan harapan ‘sama’ dalam pikirannya. Dan Paul tidak ingin
membuat Ross kecewa.
“aku rasa aku merindukan kita” diikuti dengan
sebuah garukan kepala! Ross membius Paul dengan jawaban sebuah senyuman yang
terkenal manis itu.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?” Ross
membalikkan pertanyaan sii pinokio itu.
“we one step closer?!!” jawab Paul sambil
tersenyum ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar