Get Money

 

21 Jul 2013

CERPEN : Cewek Metropolitan???

Matahari sudah tinggi, cahayanya memaksa masuk lewat cela-cela jendela yg ditutup horden berjaring-jaring, motif sarang laba-laba. Gadis ini enggan membuka matanya sejak sekitar dua jam yang lalu alaram berbunyi, tentu saja sudah dimatikan olehnya saat pertama dia berdering. Lampu2 malam Jakarta membuatnya pulang terlalu pagi, dia lupa hari ini adalah hari penting baginya. Hari pertama bekerja di sebuah perusahaan dealer mobil terbesar dijakarta. Masih training, dia belum resmi menjadi kariyawan. Handphone yg sedari tadi bergetar, di abaikannya. Apa yang membuat dia meloncat dari tempat tidurnya? Tiba-tiba gadis ini melototkan matanya dan meloncat dari kasur tempat tidurnya yang hanya digeletakkan begitu saja di lantai kamar kost. Menyambar deodorant, dan kemeja putih yg tergantung rapih di belakang pintu, sudah dipersiapkan sejak kemarin olehnya. Dia tidur bersama rok hitam pendek berbahan katun polister yang belum diganti sejak kemarin dia menjalani psikotes, interview, dan tanda tangan kontrak sebagai anggota training. Kemudian dia pergi makan malam, nonton, dan menghabiskan saat gelap itu di tempat yang mereka sebut diskotik. Bersama pria yang meloloskannya ke pekerjaan itu, nice guy? Entahlah…
60km/jam membuatnya sampai tepat pukul 10.35 sejak keberangkatannya sepuluh menit yang lalu. Tangannya tergesah-gesa membuka permen penyegar mulut dan melahapnya seperti orang rakus. Tentu saja dia tidak mandi dan menyikat gigi, permen itu pikirnya bisa membantunya keluar dari masalah bau mulut. Sambil berlari menuju lift dan memaksa mengangkat dagu melihat layar merah yang bertuliskan angka tepat diatas pintu lift, untuk mengetahui berapa lama lagi dia harus menunggu benda itu menjempunya. Sambil merapihkan rambut, kemudian merapihkan kemeja, dan menyeka-nyeka kelopak matanya dengan kedua tangannya, menyapu pipi. Berharap wajahnya tidak lebam terlihat baru saja bangun. Tak perlu makeup, gadis ini wajahnya masih seperti baby, bahkan urat2 halus berwarna merah dipipi tergambar jelas betapa bening kulitnya.
Lift sudah mengantarnya ke lantai 4, peserta training hanya 2 orang, dia dan pria yang mungkin umurnya dibawah 2 tahun dari padanya, atau memang iya. Wajahnya begitu kekanak-kanakan. “hey, dimana pak Brian?” gadis itu menghampiri pria itu yang duduk rapih didepan ruangan pak Brian. “katanya tadi dia mau ke toilet, sekitar 2 jam yang lalu,” sahut pria itu agak kesal “dia membuat ku menunggu disini sendiri. Perkenalkan, namaku Setio,” sambil mengulurkan tangannya. Gadis ini menatapnya tajam sejenak, seperti familiar wajahnya. Sambil mengatur nafas karena jantungnya yang masih berdetak ketakutan terlambat mengikuti training. “Via, hufttt..” menghela nafas “yang sabar yah,” handphonenya bergetar lagi untuk yang kesekian kali sedari pagi. “sebentar,” ucap gadis itu lagi ingin menjawab telpon. “iya pak, saya sudah diatas.” Kini Setio tau kepada siapa dia harus melampiaskan kesalnya karena telah menunggu lama. Sayang sekali pria ini begitu sangat sabar dan melupakan kekesalannya. Tidak lama setelah itu, pria yang telah berkepala 3 menghampiri, “maaf sudah membuat kalian menunggu lama,” sambil tersenyum. Via membalas senyuman tersebut seakan menyimpan sesuatu yang lucu, tapi tidak dengan Setio yang kekeh dengan wajah badmoodnya.
Waktu kerja terasa cepat, bagaimana tidak? Mereka memulai pekerjaannya setelah jam makan siang. Pak Brian yang tidak berhenti berbicara sedari tadi menjelaskan apa yang harus mereka kerjakan, memberi tahu file-file yang mereka butuhkan, wajahnya kini terpapar rasa senang dengan sedikit senyuman, memiliki sebuah arti yang disembunyikan disetiap tatapannya pada via. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan malam kemarin yang dia habiskan bersama Via, mengunjungi tempat2 wisata dan kuliner malam. Pak Brian meninggalkan mereka, pergi menuju ruangannya untuk bersiap pulang.
“hey, berhentilah cemberut… bukannya kita harus bekerjasama disini? Kalo kamu musuhin aku, siapa yang akan bekerjasama denganku?” senyuman Via menggambarkan permohonan maafnya. “ya, aku memakluminya gadis desa Rashiva Kristi” tidak menanggapi aneh kalau pria ini tau nama dan asalnya, Dia menganggap kalimat itu sebagai kalimat ejekan. Heandphonenya berdering lagi, “aku duluan ya..” berlari meninggalkan meja kerja dan setio. Menghampiri dia yang menunggu gadis jangkung ini untuk membawanya pergi, masih pria yang sama dengan yang kemarin.
**
“Tumben kamu tidak terlambat?!” sapaan pertama dipagi hari, ruang kantor lantai 12a tempat mereka bekerja mulai dipenuhi karyawan, officeboy yang mendorong-dorong meja seperti waiters hotel membawakan kopi dan tea pesanan masing-masing meja karyawan belum juga kelar dibagikan, begitu pula dokumen-dokumen yang masih rapih diatas meja para karyawan. Via menghiraukan “semalam jalan2 kemana? Gk jalan-jalan ya? Langsung tidur?” gadis ini seperti kebal, focus menatap LCD yang baru dinyalakan. WINDOWS – hanya itu yang tergambar bersama buffer computer yang bergulir sangat lambat. “hey… gadis desa” colek Setio di punggung gadis ini yang duduk membelakanginya. “selamat pagi semua…” serentak berdiri para kariawan yang masih bermalas-malasan menghilangkan suntuk dan cerita dalam mimpi2 yang mulai pudar. Sapa manajer yang berperan sebagai pak Brian, pria yang sudah 2 hari ini hangout dengan Via, menghabiskan malam diluar jalan-jalan jakarta dan sebuah alasan lembur yang begitu simple diberikan untuk keluarganya yang berharap dia tidak lagi pulang terlalu malam. “selamat pagi paaaaak…” suara Via paling keras diantara gelombang2 suara yang lain, mengalihkan seluruh kariawan menatapnya. Setio tertunduk malu karena gadis itu berdiri didekatnya, dia merasa ditonton seperti pelaku pencuri. Via tersenyum geli merasa telah membalas pertanyaan2 menyebalkan yang dilontarkan pria itu. “urus saja pekerjaan mu” bisik Via masih dengan senyum kemenangan.
Waktu terasa sangat panjang, udara AC tidak lagi terasa dingin bagi pria ini. Wajahnya kusam penuh minyak disekujur pipi, dagu, hidung dan jidatnya. “Hari kedua ini begitu menyebalkan” gumamnya menoleh meja disampingnya yang tak berpenghuni. Detik dan detak dapat dihitungnya karena berjalan perlahan melenggak-lenggok di kepalanya yang penat. Hingga pukul 16.25 dijalani dengan penuh kesabaran, membongkar2 dokumen yang sebenarnya telah di koreksinya berulang kali. Beberapa kariawan mengganti kesibukukannya merapihkan meja dan isi tas yang berhamburan di meja. Namun pria yang bernama lengkap Setio Arkayudho ini masih tak ingin bergegas. Dia menunggu, menunggu gadis yang disebutnya gadis desa. “dorrr… serius banget” Penantiannya berakhir setelah dikageti Via “kemana ajah? Kerjaan numpuk tuh…” dengan nada ketusnya. “itu hanya copyan? Aku sudah mengerjakannya diruangannya pak brian” jawabnya sambil merapihkan meja. “kerja apa kerjaaa?! Hati2 sama bos-bos Jakarta” pria ini berbicara menatap camas Via yang sibuk tak memperdulikannya. Gadis ini menoleh mengangkat kening dan mengangkat kepala seperti setengah mengangguk seakan memperdulikan kecemasan dan perhatian setio, padahal tidak. Kemudian kembali merapihkan make up dan rambut tebalnya yang terikat, menguraikannya “I’m ready to the party,,, I wanna be metropolitan girl” ledek gadis itu berteriak dengan excitingnya “upsss” dan berlalu meninggalkan setio.
Dua minggu berlalu dengan cepat bagi sii gadis desa. Wajah yang lusuh, bundaran hitam dibawah mata tertutup oleh tebalnya foundation dan taburan bedak. Masih saja pria ini memanggilnya “gadis desa”, membuat gadis itu kesal. Namun Via adalah orang yang dapat mengontol emosinya, diam adalah senjata ampuhnya. Dia beranggapan dengan tidak memperdulikan akan membuat orang-orang yang mengejeknya kesal sendiri. Hanya hela-an nafas panjang yang meringankan ulunya yang sesak karena merasa di rendahkan. Itu bertahan sampai beberapa minggu yang telah berlalu selama mereka bekerja. “Satrio hanya mencari perhatian” batinnya.
Tak – tuk – tak – tuk – suara heels yang asing melangkah menuju meja kerja Via. “kamu Via?” wanita ini membuat ruangan hening. Pakaiannya yang minim menutupi usianya yang mungkin telah beranak 4. Caranya berdiri, membentak, menatap begitu anggun. Sebagian kariawan mengenalnya, mereka yang berbisik-bisik adalah kariawan lama yang sudah mengenal wanita ini. Namun Via, dia sama sekali belum pernah melihat wanita berusia mungkin 40 seperti dia yang berpakaian dan berpenampilan seanggun itu kecuali di TV, sinetron Indonesia atau telenovela yang terdapat di satu chanel tv kabel ketika dikampung. “iya bu,” jawab Via tegas kemudaian berdiri dari tempat dia bersandar, kursi beroda dengan anggunnya perlahan menutupi gugupnya. Via menatap Setio yang malah ikutan berdiri dan terlihat sangat shok. Setio sudah menduga sebelumnya bahwa ini adalah istri pak brian, dia bahkan sangat yakin. Kejadian ini telah diprediksinya sejak dua hari mereka bekerja. Pak brian hampir tiap hari tak langsung pulang kerumah, alasan apa yang membuat istri tak curiga jika hampir dua minggu pulang terlalu malam? Setio seakan kesal, marah, karena harus ada kejadian seperti ini menimpa gadis desa itu. Mungkin karena gadis desa itu tidak pernah mendengar nasehatnya. Seharusnya dia mempertegas siapa yang harus di waspadai, bukan bos prianya melainkan istri-istrinya yang bengis itu.
Wanita itu mengeluarkan amplop tebal, sangat tebal mungkin berisi sejumlah uang yang besar, mampu membayar setahun rumah kontrakan 2 kamar pikir Via. “ambil ini! Berikan kepada temanmu tamara, bilang kepadanya berhenti mendekati Brian, atau kamu saya bikin keluar dari sini” tegasnya. Kemudian berlalu masih dengan nada heels yang melayang-layang mengikuti jarak kakinya melangkah.
“siapa Tamara?” pertanyaan pertama yang dilontarkan Setio, disisi lain dia legah, bukan gadis desa ini yang terlibat langsung dengan wanita itu ataupun pa Brian. Via dengan santai mengambil bungkusan amplop yang dia lempar dimeja begitu saja, seakan tangannya tak mau kotor tersentuh oleh tangan gadis ini. “temen dari tempat yang lo sebut desa,” tersenyum menatap isi amplop kemudia merubah raut wajahnya menjadi super jutek menatap sekeliling kariawan yang masih berbisik-bisik membicarakannya. Mereka seakan segan pada gadis desa yang bahkan belum resmi menjadi karyawan ini, membungkuk dan kembali pada pekerjaan mereka, melupakan yang baru saja terjadi dan yang lainnya tidak menghiraukan kejadian tadi. Mungkin akan menjadikan bahan gosip saat di luar kantor.
“Tamara sahabatmu?” Tanya pria itu lagi penasaran. Via terkejut mendengar pertanyaan itu, bagaimana tidak? Dia tau siapa Tamara itu, “sejak awal, kamu sudah menarik perhatian ku,” ucap gadis itu lantang, wajah yang familiar “ternyata feeling ku benar” mencubit pipi pria itu dengan tenaga kegemasannya sama seperti dulu mereka pacaran. “enam tahun gk ketemu, ternyata kamu lebih nakal yah? Berani bermain api dengan keluarga orang kaya itu” omel brondong 2 tahun itu, mantannya. “ya… kalau tidak begitu bagaimana aku bisa hidup dijakarta?” sahut Via lantang. “itu yang kamu sebut gadis metropolitan?”

2 komentar:

  1. Makin produktif aja nih,,, gw suka :-d

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada kata2 yang diubah sih... but thanks udah selalu hadir di TKP =D

      Hapus