Get Money

 

23 Agu 2013

CERPEN : SYAHLA

Langit2 rumah ini tak memilik 1 warna. Tidak kompak mengindahkan mata yang memandang, mungkin karena telah berabat2 dia disana, terendam hujan dan binatang yg sembarangan mengompol. Aku memandang sekeliling rumah seorang ibu setengah baya, kemudian masuk kedalam kehdupannya. "Bagaimana bisa dia mengadopsi ku? Sedangkan rumahnya saja sangat tidak layak di tempati" gumam ku dalam ketakutan.
Rumah ini gelap, lantainya berubin kuning dengan beberapa tambal semen menutupi bolong bolong pijakan kaki, sungguh menyedihkan. Dia bahkan tak memiliki pemanas air, hanya neon kuning 15watt dan ricecoocerlah barang elektronik dirumah ini. Umurku 8tahun saat itu. "Apa dia ibu kandungku? Bukankah yg layak mengadopsi adalah dia yg berkelebihan menghidupi dirinya?" gumamku lagi. Hanya sebuah kotak persegi rumah ini, tak ada depan dan belakang. Dua kamar berhadapan dan satu kamar mandi kita gunakan bersama. Dapur kecil itu akan menjadi tempatku memasak nanti "wah ada taman kecil dibelakang rumah" gumamku. aku berpikir untuk menamam seledri, dan lidah buaya.
Dia pasti tak butuh surat adopsi jika aku anak dari rahimnya, itu tergantung rapih dalam bingkai foto di kamarku, "apakah dia melakukannya agar aku tak kasihan setiap menyuntiknya?" Itu masih sebuah pertnyaan yg mendugaduga. Ibu tua ini begitu sakit, aku diajarkan untuk menyuntik insulin dua kali shari setiap jam 3 sore dan jam 5 dinihari setelah subuh kujalani. pembicaraan begitu terbatas, dia paling sering berkata dan selalu mengucapkan "bersabarlah little girl." Dia tak pernah menceritakan suami, atau anak. Tentusaja dia tidak punya anak makanya mengadopsi. Hingga aku merasa berumur 18 tahun. Hanya merasa karena aku tk pernah menghitungnya, mungkin aku lupa kapan hari ulantahunku. Aku menceritakan bahwa aku senang mendapat sebuah sertifikat bertuliskan "Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional & ijazah SMA" ibu itu mampu membayar homescholling yang ku jalani selama ini "bernyanyilah little girl untuk merayakan kelulusanmu" jawabnya. Dia sangat senang mendengarku bernyanyi, aku akan bernyanyi setap pagi jam 6 dan sore jam 4 ketika mandi, sometimes jika sedang memasak, aku akan bernyanyi. "Kalian pasti bertanya dari mana aku bisa mengenal musik jika aku terkurung dirumah tanpa Tv dan radio?" Guru homescholling lah yg mengenalinya, itulah caranya mengajariku bahasa inggris. Kami tumbuh bersama. Selain ibu, merekalah orang yg aku kenal, "owh iya, aku tidak akan melupakan tukang sayur yg tiap hari mengantarkan bahan2 masakan kerumah kotak ini".
Aku sudah menyayangi ibu ini, meskipun dia tak  banyak memberi perhatian layaknya ibu yg diharapkan anak2 panti lain ketika di adopsi. Tapi dia membuatku merasa cukup. Aku mengurusnya dgn spenuh tenagaku meski aku harus memandikan atau mengganti popoknya. Sepuluh tahun sudah aku terjebak disini, ditemani rutinitas bersama tembok2 bercat usang, sunyi. Terkadang aku ingat keramaian di panti asuhan, teriakan anak2 mengajakku bermain "syahlaaaaa" suara kaki mungil yg tak henti berlarian menghiasi hari2. Ingatan itu selalu bergentayangan, seperti baru terjadi kemarin setiap aku menatap bingkai yg usang tergantung didinding dengan paku yg berkarat, "hey 10tahun lalu itu belum berkarat" aku memperhatikan tanggal hari pertama aku dipungut. Yaitu hari ini. Aku sangat bersemangat menuju kamar, menghampiri ibu yg sudah siang tak kunjung keluar dari kamar. "ibu, syahla bisa masuk?" tak ada jawaban, hening. Aku menuju dapur dengan harapan ibu baik2 saja di dalam. "Mungkin dia sedang melamun seperti hari2 sebelumnya" semakin tua, semakin kurus, semakin jarang bicara, semakin banyak melamun.
Aku mondar mandir didalam rumah yg kecil ini, khawatir akan ibu yg tak kunjung keluar dari kamar, ini waktunya suntik insulin, sekali lagi aku mencoba mengetok2 pintu. "Ibu... Ibu.." Entah berapa lama aku memanggil kalimat itu hingga air mata ini tak terbendung. Aku sama sekali tidak pernah mendobrak pintu, aku takut dianggap tak sopan, dan hal itu membuatku malu. 
"Syahla... tok tok tok" aku loncat secepat kilat dari depan kamar, mengusap air mata yg kemudian mulai berhernti mengalir. "Kamu kenapa?" salah satu guru homeschooling ku dtg ingin mengajar. Ini hari selasa waktunya untuk biologi. Mem Rhisa yg mengajarkan Bahasa Prancis dan Biologi. "ibuuuuu..." kataku takut, kemudian kembali lagi aku menangis. Wanita ini langsung berlari menuju kamar, mendobrak. Jantungku seperti terpukul, seiring dgn rasa sakit pintu yg didobrak badan wanita itu, bersikeras merusak pintu. "Mamaaaaah" teriak wanita itu gemetar dan tangis yg membanjiri wajahnya...
***
Aku tak henti2nya membaca Alquran, menghatamkan untuk kepergian ibu. Bersama 3 guru homescholing di rumah yg begitu besar, atap yg indah, bohlam2 yg terang, ubin granat yg besar, dan banyak kamarnya. Aku mendapat tumpangan dikamar depan, kamar tamu katanya "biar syahla tidur di kamar tamu" ucap mem inggrit yg mengajar fisika, kimia, dan bahasa indonesia. Dia begitu anggun nan menawan, anak tertua mungkin. Orang2 berdatangan dan berlalu, memberi belasungkawa, yg lain membantu menghatamkan Alquran.
Hari ke empat stelah kematian ibu, aku diajak kesebuah ruangan keluarga, bersama pria berdasi rapih membawa beberapa dokumen yg ditentengnya oleh tangan sebelah kiri, tentu saja dia bukan salah satu anak ibu dan bukan salah satu orang yg ada di album keluarga atau foto keluarga raksaaa yg tergantung disetiap sisi ruangan, dengan bingkai raksasa juga. Sepertinya dia akan berbicara "ekhem.. surat warisan," matanya beralih menatapku "harta yang dmiliki ibu maya sarawati adalah bakery store, cave hardbakery, rumah ini senilai 8M dan rumah kotak senilai 200jt," dia kembali mengeluarkan dahak "ekhem" kemudian menatap sekeliling, aku juga menatap satu persatu guru homeschoolingku, menatap canggung "aku hanya belum terbiasa" batinku sambil mengambil nafas panjang dan membuangnya perlahan. Aku pecaya itu mampu menghilangkan gugup. Ser Billi tersenyum, seakan ingin menghilangkan kekhawatiranku. Seakan kita sedang bernyayi "we'll be alright" bersama di sini, menunjuk dada. Yaaa.. Seperti saat sebelumnya, seperti setiap hari jumat dia datang mengajarkanku bahasa inggris atau hari sabtu untuk pelajaran matematika dan sejarah. Kadang kami gunakan untuk bernyanyi dan mendengarkan cerita film2 yg baru saja dia tonton, kedengarannya seru dari pada harus mendengarkan cerita terbentuknya monumen nasional, Organisasi VOC ASEAN, peperangan diindonesia. 
"Bakery store di pimpin oleh Ingrit, cave hardbakery oleh Rhisa, rumah senilai 8M oleh Billy dan rumah kotak untuk Syahla" pria itu melanjutkan. Aku masih syok untuk tau ternyata smua guru homeschoolingku adalah anak ibu, bahkan aku baru tau ibu bernama Maya, sekarang pria itu membuatku tambah kepayangan.
***
Hari2 berlalu, aku kembali kerumah kotak diantar oleh Ser Billy, pria yang tumbuh bersamaku. Mungkin dia berumur 26th, "Hey, punya planing untuk tinggal bersamaku dirumah seberang saja?" Pria ini memang selalu mengalihkan perhatianku. Dari cara bicaranya, dan caranya menceritakan sesuatu sangat cocok untuk menjadi sejarawan.
"Aku menyayangimu ser" sayangnya kalimat itu tak dapat ku katakan, tersangkut di tenggorokanku. Aku menggelengkan kepala. "Kalau begitu aku akan tinggal disini," Dia menatapku tajam, seakan serius akan ucapannya. Aku gugup, jantungku berhenti berdetak, kalimat itu seakan menjadi pembicaraan yang canggung. Aku tak begitu pandai berbicara, mungkin hatiku telah bisu, mungkin terbiasa diam melenyapkan harapan, menghancurkan mimpi. Aku masih terbiasa dengan jam 3, ada aktivitas disana, memegang suntik, kapas, alkohol, dan insulin. Mungkin ini caraku melenyapkan pembicaraan tadu. Aku terbiasa bernyanyi, menandakan aku masih bernafas. "Sekarang, aku akan mengubah kebiasaan itu" katanya, mengambil ibat-obatan itu dari tanganku dan mengepack semua perlengkapan ibu untuk dibuang "maukah kau membantuku membuang kenangan? dan membentuk kebiasaan baru bersamaku?" aku hanya mengangguk, itu cukup. "Apa aku sudah menjadi anak yg baik untuk ibu?" Akhirnya aku bicara. Kurasa kalimat itu mengalihkan pandangannya "Kamu sudah berikan yang terbaik untuk Ibu, sekarang belajarlah menjadi istri yang baik". Aku ingat dulu ketika aku menerima ijazah SD dia berkata hal yang mirip dengan itu "kamu harus berikan yg terbaik untuk ibu, dan belajar menjadi pacarku yg baik" menggenggam tanganku yg masih mungil kemudian menciumnya. Satu kalimat itu melenyapkan kesedihanku, dan menyelimutinya dengan harapan masadepan yg cerah, dengan lukisan senyuman.
"Besok kamu akan ku ajak melihat dunia" katanya, mengakhiri cerita kesunyian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar