“apakah itu ed?” yang duduk di tengahtengah kerumunan orang didalam
bus, tangannya sama seperti pria yang pernah aku kenal. Bus ini sangat penuh,
hingga aku tidak mendapatkan tempat duduk dan berdiri dibelakang yang
dikerumuni beberapa penumpang yang menemaniku berbagi dahaga karena kami
sama-sama tidak mendapatkan tempat duduk. Pria itu sibuk bermain game di
handphonenya yang cukup besar, ipod sebuah kata singkat untuk kalimat itu. Aku
hanya bisa melihat tangannya yang sibuk mentouch sedari tadi. “Tangan itu yang
pernah menggenggam tanganku, dan lengannya yang pernah merangkulku.”
Dia menutup telinganya dengan
sebuah headset yang cukup besar untuk menutupi ruah pipinya yang tirus itu,
mungkin sedang asik mendengarkan music bergenre jazz kesukaannya dia semasa SMP
dulu yang sering kita dengarkan bersama. Dan atau mungkin dia tak lagi menyukai
jazz, I don’t know. Empat tahun sudah kami tak bersua, terpisah oleh waktu.
Sebuah kabar mengenainya, “Ed diJakarta Ran, katanya dia kerja di sebuah bank
sambil kuliah.” Terakhir aku bertemu dengannya didalam sebuah party birthday
teman empat tahun lalu setelah setahun tak lagi menjalin sebuah hubungan
special, mungkin karna kami terpisahkan oleh jarak sekolah bermilmil jauhnya.
Senior High School yang berbeda bukanlah hal yang gampang menjalin sebuah
hubungan bukan? Dia bertemu dengan lawanjenis baru, dan akupun begitu. Tidak
ada kalimat perpisahan, atau tiada kalimat putus membuat aku masih memikirkan
pria jangkung itu. Namun itu dapat ku alihkan oleh beberapa pria yang
mendekatiku. Sangat mudah aku menghilangkan namanya yang bersemayam dikepalaku,
dan sangat mudah pula kembaliku mengingat kenangan kita setika aku berdiri
sendiri lagi tak berbendamping, seperti sekarang ini, aku memikirkannya.
“mba mau tukeran aja?” seorang
pria dewasa yang tak dikenal menawarkan aku duduk. Aku yang berdiri pas tepat
disampingnya hanya menggelengkan kepala “gk usah, gk papa kok.” Pikirku, dengan
mendengar suaraku, dia akan memalingkan wajahnya kebelakang untuk melihatku.
Aku lupa ternyata dia menggunakan headset yang menutupi seluruh kedua
telinganya yang sering aku jewer dulu.
Tak ingin sedetikpun aku memalingkan wajahku untuk melihat pria itu
yang kuduga adalah Ed meskipun dari belakang. Aku berharap akan ada sesuatu
yang menggerakinya untuk menengok kebelakang. Dua jam berlalu bus ini membawaku
ketampat tujuan, dan pria itu sama sekali tidak memalingkan wajahnya
kebelakang. “em-em.. mall em-em..” teriak seorang kenek bus. Orang-orang mulai
berdiri dan saling mendorong untuk cepat turun dari bus. Aku masih bertahan
pada tempatku berdiri “eh..” aku menatap bangku yang didudukin pria itu kosong,
dan pria dengan kemeja yang sama berdiri didepanku. Bukan pria yang jangkung,
hanya memiliki kulit dan potongan rambut yang sama dengan Ed. Dia menatapku
heran karena aku menghalangi jalannya untuk keluar dari bus, aku hanya
tercengang seakan menyesali pikiranku yang menduga bahwa dia adalah pria yang
aku pikirkan.
Aku berjalan meninggalkan bus itu secara perlahan, dan
menyadari bahwa aku masih hidup dalam sebuah memory yang seharusnya telah terkubur bersama waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar