Get Money

 

13 Jul 2013

CERPEN : Gak Selamanya Dia Musuh

                “Siapa? Ross? Dari sisi mana kamu melihat dia cantik? I called her ‘Bunga Bangke’”
                “What? Orang itu? Entah mimpi apa ibunya melahirkan anak dengan hidung diseluruh wajahnya”.
                Tak ada yang heran lagi jika kedua siswa ini saling ejek-ejekan. “entah nasib sial apa aku dijadikan sekelas terus dengan sipinokio berburuk rupa itu” lebih dari 3x sehari Ross berkata seperti itu, seperti kalimat pokok nan wajib jika mendumel. Mereka berdua memang sedari SMP selalu sekelas, saat SMP mereka bahkan hampir akrab. Hingga suatu ketika Paul berpacaran dengan sahabat Ross ketika menduduki kelas 2 SMP, kemudian membuat sahabatnya menangis selama 3 hari ketika mereka putus. Semenjak itu, bukan hanya perang dingin, Ross dan Paul pernah saling lempar-lemparan kerikil ketika kelas 1 SMA. Perang bacot bahkan akan sangat memanas ketika mereka berada dikelompok yang berbeda untuk memberdebatkan materi presentasi disepanjang mereka menduduki SMA. Mungkin Via sahabat Ross telah melupakan cinta monyetnya dengan Paul dan memutuskan mengambil SMA diluar kota. Namun Ross masih menyalahkan Paul akan hal itu. Setelah lebih dari tiga tahun mereka perang panas, mereka menjadikan hal apapun sebagai sebuah masalah. Jika ditanyakan kepada Ross awal mula terjadinya kebencian dihatinya, dia akan berkata “aku lupa” sambil mengangkat bahu dan berpikir keras. Itu terlihat dikerutan dahinya yang begitu mengkerut. Sedangkan Paul “mmm… aku dan bunga bangke itu memang tidak cocok.” “sejak kapan?” “Sejak lahir!!” dengan nada yang tinggi.
                “Ok kelas tambahan sepulang sekolah, yang artinya aku harus lebih lama bersama pinokio berburuk rupa itu!” “it’s never ever ever happened!!” teriak Paul menyambung dumelan Ross. Namun kemudian mereka menjalani setahun ajaran terakhir dengan success tanpa ada adu bacot.
                “nah begitu… jadilah siswa teladan disekolah ini, kalian berdua harus akur, kan kalian juara umum disekolah, jangan diancam dulu baru mau akur” ujar Kepala Sekolah yang menceramahi mereka didepan seluruh siswa saat pidato perpisahan kelas 3 dipanggung pensi. Meskipun begitu, mereka masih saja saling menatap sinis, tak ada perang panas, perang dingin pun terjadi.
**
                Dua bulan terakhir setelah UN, tentu saja mereka disibukkan oleh urusan surat ini dan itu untuk melengkapi pendaftaran Universitas. Sekolah SMA yang mereka rindukan, bangku-bangku kayu usang penuh coretan Tip-X, dan hiasan spidol menghiasi dinding belakang sekolan, dinding-dinding kantin dan toilet. Ross berjalan perlahan melewati kelas terakhir yang dia tempati seusai mengurus cap-cap untuk surat KHUN. Ram-ram berdebu menembus bayang-bayang didalam kelas, seorang pria sambil menggoyangkan kedua kakinya, “Hey ngapain kamu disini” meloncat turun dari atas meja “ngurusin surat-suratlah, sama kayak kamu” jawab Ross masih ketus. “kamu ngerasain apa yang aku rasain gk sih?” Paul datang menghampiri Ross. “apaa?” ‘entah apa yang teradi pada jantungku, tiba-tiba berdetak begitu kencang’ gumam Ross dalam batin. “akuuu.. kurasa aku merindukan kelas ini” ucap Paul sambil berlalu meninggalkan Ross. ‘ya Tuhan.. aku gugup’ batin si pinokio berburuk rupa, dengan wajah penuh penyesalan yang enggan memalingkan wajahnya kebelakang.
                “aku bahkan merindukan kita” tertunduk gadis itu membenci kedua pikiran sama yang menurutnya berbeda.
“hufttt.. merindukan kelas katanya? Bodoh!!!” Ross berlalu kearah yang berbeda.
“Tuhan, bukan itu yang ingin aku katakana! Aku merindukan Ross!” Paul masih menggerutu.
**
“ya Ampun tidak adakah yang mau membantuku membawa koper-koper ini keatas??” Ross menatap rumah koss yang bertumpuk tinggi menjulang kelangit, “lebih mirip rumah susun,” dumelnya lagi. Seseorang menyambar salah satu koper dari genggamannya, dengan reflex Ross yang cepat menatap sosok itu. “sini aku bantu” Paul berlalu dengan koper Ross dan segandeng tas miliknya yang isinya mungkin hanya beberapa helai pakaian dan minyak wangi yang tak dipungkiri adalah axe biru aroma yang selalu menempel ditubuhnya sejak SMP.
“Kamu ngekos disini?” pertanyaan yang ingin sekali dilontarkan Ross, sayangnya kalimat itu masih tersedak ditenggorokannya. “kamar berapa?” Tanya Paul yang berjalan 10 meter didepan Ross, sangat mirip pelayan hotel berseragam yang sedang membawakan tas. Paul hanya tak ingin Ross tau betapa gugupnya dia bisa membantu gadis ini. “506”.
“Ya, kita sampai”. “udah sampe disini aja, makasih ya?!” Ross melontarkan senyumnya yang very famous sweet di SMA dulu. “kamarku disitu, 504.” Sambil menggaruk kepala, suara grasak-grusuk pintu kamar 505 seperti akan membuka pintu mengalihkan pandangan Ross dan Paul, wajah yang tak asing. “Ross??” “Via?? aaaaarrrggghhhh” mereka saling berpelukan. Tidak melupakan Paul, via mengerutkan alisnya menduga-duga pria yang ada dihadapannya. “Paul?? Kalian berdua…?” dengan tatapan curiga via. “enggaaaak” Ross tiba-tiba berteriak menghentikan pikiran via mengenai kedekatan mereka. Mimic wajah Paul berubah “Ya Tuhan, seharusnya aku tidak berkata begitu, tapi yasudahlah toh dia juga tidak terlihat menyukaiku” isi hati Ross penuh dengan penyesalan, dan pula banyak pertanyaan “lalu mengapa dia tampak sedih setelah aku…”
“Hey Ross ayo beres-beres kamar kamu, aku bantuin bengong aja sih hahaha” via membangunkan Ross yang hanya terpaku didepan kamar memikirkan pinokionya.
**
“kini aku ingat penyebab dari perang aku dan Ross selama ini.”
“knok – knok – knok…” Paul yang sedari tadi tak beraktivitas hanya berbaring memikirkan bunganya kini beranjak bangun membuka pintu.
“hai Paul, lagi apa?” via mencoba melirik kedalam kamar pada cela-cela kosong yang tertutup badan Paul. “gk lagi ngapa-ngapin.” “aku boleh masuk gk kekamar?” “gk boleh..” “ih boleh dong…” beberapa menit mereka berdebat didepan, yang terdengar hingga kamar Ross dan membuat bunga bangkai ingin mengintip keluar. Sepertinya suara pintu tak bersahabat dengannya, membuat Paul dan via berhenti berdebat dan malah memperhatikan Ross yang mengintip disela pintu. Via menghampiri Ross dengan wajah cemberutnya “Ross, Paul gak ngijinin aku masuk kekamarnya… huhuhuhu…” rengek gadis pirang itu. “Viaaa…! Lagi ngapain coba masuk kekamar cowok? Centil banget sih?!!!” bentak Ross kesal. Ross meninggalkan via dengan membanting pintu kamar, itu malah membuat Paul cekikikan.
“Paul ini semua salahmu!!!” via masuk kekamarnya membawa serta kekesalanya.
“knok – knok – knok…”
“siapa?” teriak gadis bunga bangkai dari dalam kamar.
“Paul.” Ross langsung menyambar gagang pintu dengan semangatnya!
“hai…” Paul menyapa dengan mengangkat tangan kekanannya. Ross malah diam dan menatap mata sipinokio berburuk rupa itu.
“lagi ngapain?” Ross menggelengkan kepalanya, mengartikan dia hanya sedang memikirkan Paul ‘namun aku rasa Paul tidak mengerti’ malah mengartikan gelengan kepala itu sebagai tanda tidak ada aktivitas penting kecuali bernafas. Ross menatap Paul dari ujung rambut hingga ujung sepatu yang sangat terlihat betapa salting(salah tingkah)nya sipinokio ini. Ross pun tak kalah gugupnya dengan Paul.
“kalo kamu?” akhirnya Ross membuka suara. Paul membalas gelengan kepala Ross yang tadi.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?”
“I don’t think so… apa?” kali ini Ross tidak ingin kecewa dengan harapan ‘sama’ dalam pikirannya. Dan Paul tidak ingin membuat Ross kecewa.
“aku rasa aku merindukan kita” diikuti dengan sebuah garukan kepala! Ross membius Paul dengan jawaban sebuah senyuman yang terkenal manis itu.
“apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?” Ross membalikkan pertanyaan sii pinokio itu.

“we one step closer?!!” jawab Paul sambil tersenyum ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar